Sabtu, 25 Januari 2014

PEMIKIRAN TEOLOGI ASY'ARIYAH


PEMIKIRAN TEOLOGI ASY'ARIYAH



BAB I
PENDAHULUAN

Munculnya berbagai macam golongan-golongan aliran pemikiran dalam Islam telah memberikan warna tersendiri dalam agama Islam. Pemikiran-pemikiran ini muncul setelah wafatnya Rosulullah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya berbagai golongan dengan segala pemikiranya. Diantaranya adalah faktor poitik sebagaimana yang telah terjadi pertentangan antara kelompok Ali dengan pengikut Muawiyah, sehingga memunculkan golongan yang baru yaitu golongan khawarij. Lalu muncullah golongan-golongan lain sebagai reaksi dari golongan satu pada golongan yang lain.
Asy’ariyah adalah salah satu nama sebuah aliran dimana namanya disandarkan kepada pendirinya,yaitu Abu Hasan al-Asy’ari.beliau lahir di Bashrah pada tahun 260 H/ 873M. Ayah Asy’ari meninggal saat Asy’ari masih kecil. Ketika beliau berumur 40  tahun, beliau melakukan hijrah ke Baghdad dan wafat disana pada tahun 324H/ 935M. Menurut Ibn Assakir, ayah Asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahl-sunnah dan beliau juga seorang ahli hadits. Namun setelah sepeninggal ayahnya, ibunda Asy’ari menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yaitu Abu Ali Al-Jubba’i. Sejak kecil Asy’ari di didik oleh ayah tiri sekaligus gurunya yang berfaham Mu’tazilah, sehingga  Asy’ari menjadi salah satu tokoh Mu’tazilah. Selain menjadi tokoh Mu’tazilah, Asy’ari juga  berguru kepada ulama lain tentang hadits, fiqh, tafsir, bahasa serta beliau juga belajar fiqh syafi’i kepada seorang ahli fiqh : Abu Ishaqal Maruzi, seorang tokoh Mu’tazilah di Bashrah.
Asy’ari mengikuti faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun, setelah itu ia keluar dari Mu’tazilah, karena ia merasa ragu dengan faham tersebut. Kesimpulan ini juga diperkuat pula oleh riwayat yang mengatakan bahwa Asy’ari mengasingkan diri di rumah selama 15 hari untuk memikirkan ajaran – ajaran Mu’tazilah. Sesudah itu ia keluar rumah dan secara tiba – tiba dia mengumumkan di hadapan masyarakat Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan – keburukan dari aliran Mu’tazilah tersebut. Setelah beliau keluar dari Mu’tazilah, beliau merumuskan ajaran – ajaranya kembali berdasarkan Manhaj Salafus Shalih, dengan mendasarkan pada nash Al- Qur’an dan Hadits, tetapi menerangkannya dengan metode scholastic yang rasional sebatas memperkuat dan menjelaskan  pemahaman nash dan ternyata perumusan ajaran tersebut dapat diterima oleh mayoritas Umat Islam.
Ada juga yang berpendapat bahwa Asy’ari termasuk golongan Murji’ah, dengan berdasarkan pada alasan Asy’ari tersendiri yang menyatakan bahwa “Iman adalah pengakuan dalam hati tentang keesaan Tuhan dan tentang kebenaran-kebenaran Rasul – Rasul serta segala apa yang mereka bawa. Mengucapkannya dengan lisan dan mengerjakan rukun – rukun Islam merupakan cabang – cabang dari iman. Orang yang berdosa besar, jika meninggalkan dunia tanpa taubat, nasibnya terletak ditangan Tuhan. Ada kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosa – dosanya atau sebaliknya dan menyiksa dia di dalam neraka sesuai dengan dosa – dosa yang diperbuatnya dan kemudian dimasukkan ke surga, karena ia tak akan kekal tinggal di dalam neraka. Menurut Ahmad Mahmud Subhi, syaknya Asy’ari yang menimbulkan Asy’ari keluar dari Mu’tazilah adalah dikarenakan Asy’ari bermadzhab Syafi’i yang dimana pendapat teologi Syafi’i itu berlainan dengan ajaran – ajaran Mu’tazilah.
Adapun faktor yang  menyebabkan Asy’ari keluar dari Mu’tazilah, yaitu :
1.      Pengakuan Asy’ari yang telah bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad sebanyak 3x, yaitu pada malam ke-10, ke-20 dan ke-30 di Bulan Ramadhan.
2.      Asy’ari menemukan adanya beberapa pandangan yang kontroversial dalam aliran Mu’tazilah.
Aliran Asy'ariyah memiliki prinsip dasar/dasar pemikiran, diantaranya adalah:
1.      Konsep tentang Tuhan dan Hakikat sifat Tuhan.
2.      Konsep keimanan
3.      Masalah Kehendak Bebas, perbuatan manusia dan takdir (qadha dan qadar).
4.      Masalah Akal dan Wahyu serta Kriteria Baik dan Buruk.
5.      Masalah kemakhlukan Al-Qur’an.
6.      Masalah Melihat Tuhan.
7.      Masalah keadilam tuhan



BAB II
PEMBAHASAN

1.   Konsep tentang Tuhan dan Hakikat sifat Tuhan.
        Pertentangan paham antara kaum mu'tazilah dengan kaum Asy'ariyah dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan apakah tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika tuhan mempunyai sifat-sifat itu mestilah kekal sepertihalnya dengan zat tuhan. Dan selanjutnya jika sifat-sifat itu kekal, maka yang bersifat kekal bukanlah satu, tetapi banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat akan membawa pula kepada banyak yang kekal. Dan ini selanjutnya membawa pula kepada paham syirik atau polytheisme. Suatu hal yang tak dapat diterimadalam teologi. Kaum mu'tazilah mengatakan bahwa tuhan tidak mempunyai sifat.
        Menurutkaun Asy'ariyah, tidak dapat diingkari bahwa tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatanya, disamping menyatakan bahwa tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya, juga mempunyai pengetahuan, kemauan dan daya. Dan menurut al-baghdadi, terdapat konsensus dikalangan kaum Asy'ariyah bahwa daya, pengetahuan,hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan dan sabda tuhan adalah kekal. sifat-sifat ini kata             al-ghazali, tidaklah sama dengan esensi tuhan tetapi berwujud dalam esensi itu sendiri.
        Menurut aliran Asy'ariyah tuhan bukanlah pengetahuan ('Ilm) tetapi yang mengetahui ('Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian pula sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat. tuhan dapat dilihat di akhirat, diantara alasan-alasanya adalah bahwa sifat-sifat yang yang tak dapat diberikan pada tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa arti diciptakanya tuhan. Sifat bahwa tuhan dapat dilihat tidak membawa pada hal ini, karena apa yang dapat dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa ia mesti bersifat diciptakan. Dengan demikian kalau dikatakan tuhan dapat dilihat, itu tidak mesti berarti bahwa tuhan harus bersifat diciptakan. 



2.   Konsep keimanan
Menurut khawarij iman adalah mengerjakan segala sesuatu apa yang diperintahkan tuhan, jika tidak maka disebut kafir. Sedangkan iman menurut murjiah ialah iman merupakan dalam hati dan pelaku dosa besar tidaklah kafir. Sedangkan menurut kaum mu’tazilah iman bukanlah tasdiq bukan pula ma’rifat, tetapi amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui tuhan, tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah tuhan.
Bagi kaum asy’ariyah, dengan keyakinan mereka bahwa akal manusia tidak bisa sampai kepada kewajiban mengenai tuhan. Iman tidak bias mengenai ma’rifat atau amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban itu hanya melalui wahyu. Wahyulah yang menerangkan dan mengatakan pada manusia, bahwa ia berkewajiban mengetahui tuhan dan manusia harus menerima kebebasan ini. Oleh karena itu, iman bagi kaum asy’ari ialah tasdiq dan batasan iman ialah-tasdiq bi allah, yaitu menerima sebagai benar kabar tentang adanya tuhan.

3.   Masalah Kehendak Bebas, perbuatan manusia dan takdir (qadha dan qadar).
        Seperti yang dikemukakan pada bagian terdahulu, bahwa masalah besar yang menjadi polemic dan perbincangan berkepanjangan dikalangan para teolog dari berbagai aliran dalam islam, adalah masalah yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Inti masalahnya adalah apakah perbuatan manusia itu terwujud atas keinginan, kehendak dan daya kemempuan manusia itu sendiri, atau oleh Allah tuhan penguasa mutlak alam semesta ini.
        Muhammad mazru'ah mengatakan, "jabariyah mendakwahkan bahwa manusia terpaksa dalam segala sesuatu. Ia tidak punya pilihan apapun dari atau dalam perbuatanya. Semua perbuatan manusia adalah idthirariyyah (terpaksa). Manusia tidak punya iradadah (kemauan), tidak pula qudrah (kemampuan). Tuhanlah yang menggerakkan dan melakukan perbuatan-perbuatan manusia tersebut. Dengan begitu manusia tidak bertanggung jawab atas perbuatanya.
        Sebaliknya, Qodariyah berpendapat bahwa manusia melakukan perbuatan dengan bebasdan menurut keinginan mereka sepenuhnya. Tidak ada hubungan antara Allah dengan perbuatan manusia. Selanjutnya kaum mu'tazilah mengemukakan bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatanya. Apabila tuhan yang menciptakan perbuatan manusia itu, tentu ia tidak berhak memperoleh pahala dan tidak patut menerima akibat dari perbuatan-perbuatanya itu.
        Dalam hal ini Asy'ariyah memberikan pendapat pemahaman yang berkaitan dengan perbuatan manusia, serta pengertian qada dan qadar. Muhammad abduh berpendapat, memang ada peranan manusia dalam perbuatanya. Dalam kitab risalah al-tauhid beliau memaparkan "seorang yang sehat jasmani dan rohani, menyadari (menyaksikan dan mengetahui) akan keberadaanya (eksistensinya) tanpa perlu argumentasi akal, atau seorang guru yang mengajarkanya. Demikian pula ia menyadari bahwa ia mengerti dan memahami perbuatan-perbuatan ikhtiariyah yang ia lakukan. Dengan akalnya ia bias memperkirakan dampak atau hasil dari perbuatanya itu. Dan dengan iradah-Nya ia ukur dan tentukan serta dengan qudrah-Nya ia wujudkan perbuatan tersebut. Mengingkari hal yang demikian sama halnya mengingkari keberadaan yang sudah nyata-nyata kebenaranya.
        Abduh juga mengemukakan bahwa tidak semua yang diinginkan dan direncanakan oleh manusia itu terwujud sepenuhnya. Namun, kegagalan yang dialaminya itu, dijadikanya pelajaran. Ia yakin itu bukanlah kekurang seriusanya, atau suatu kekalahan dalam perjuangan hidup, dan ia tidak menyalahkan siapa-siapa. Lalu dengan penuh optimis ia terus berusaha menggapai apa yang ia inginkan dengan cara yan lebih tepat dan teliti. Dan ia yakin ada kekuatan yang lebih tinggi dialam ini yang mengatur dan menentukan kekuatanya sendiri, dan dibelakang rencananya ada kekuasaan yang jauh diatas kekuasaanya. Dengan kata lain manusia melakukan perbuatan dengan daya dan kemauanyadan kekuasaan Allah adalah tempat kembali semua yang terjadi.
        Dalam padangan Muhammad abduh, qadha dan qadhar mempunyai pengertian yang berbeda dengan yang umumnya dianut oleh umat islam pada masa itu. Qadha menurut pendapatnya berarti kaitan antara ilmu tuhan dengan sesuatu yang diketahui, sedangkan qadhar ialah terjadinya sesuatu dengan ilmu tuhan. Jadi, ilmu atau pengetahuan tuhan merupakan inti dari pengertian yang terkandung dalam qadha dan qadhar. Apa yang diketahui tuhan pasti akan sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Mustahil bisa disebut sebagai suatu yang diketahui, sesuai dengan kenyataan. Dengan demikian, tidak ada satupun yang pun terjadi di alam ini yang berada diluar pengetahiuan tuhan. Semuanya berada dalam jangkauan ilmu-Nya, termasuk apa yang  dipilih manusia dengan kebebasan yang diberikan tuhan padanya. Pengertian qadha dan qadhar seperti demikian, adalah tidak menunjukkan adanya paksaan pada manusia untuk melakukan suatuperbuatan. Tuhan mengetahui apa yang dilakukan manusia bukan menetapkan apa yang harus dilakukan manusia. Manusia melakukan pilihanya dengan bebas, dan apapun perbuatan yang dipilih dan dilakukan manusia, tuhan telah lebih dahulu mengetahuinya. Peran tersebut tidaklah menjadi penghalang bagi kebebasan manusia dalam memilih perbuatanya.
        Terdapat pernyataan lain dari golongan Asy'ariyah. pertama, ditegaskan bahwa segala perbuatan manusia bergantung pada qadha dan qadhar Allah. lebih-lebih dengan penegasan bahwa segala perbuatan tuhanlah yang menentukan, sedang manusia hanya dapat berusaha dan berikhtiyar, namun usaha dan ikhtiyar itu tidak berpengaruh pada ketentuan tuhan. Pernyataan kedua, memperlihatkan tinjauan tentang perbuatan dari sisi tuhan dan manusia. Dari sisi tuhan perbuatan adalah ciptaan-Nya, sedangkan dari sisi manusia merupakan kasb darinya. Ringkasnya perbuatan manusia adalah makhluk atau ciptaan tuhan. Dengan pedoman ayat QS.Al-shaffat:96 "Allahlah yang telah menjadikan kamu dan segala apa yang kamu kerjakan". Dari situ dapat dipahami bahwa penciptaan perbuatan yang dimaksud adalah penciptaan perbuatan itu sendiri.  Pernyataan ketiga, perbuatan ditinjau dari sisi manusia disebut dengan kasb. Pemahaman tersebut dilandasi dalam Qs. Al-mu'minun:17 "pada hari ini diberilah balasan bagi setiap orang atas segala perbuatanya. Tak ada penganiayaan hari ini, sesungguhnya Allah sangat cevat perhitunganya". Penciptaan itu berdasarkan ketentuan dan kehendak tuhan yang mutlak. Dengan landasan Qs. Al-Aqsah:67 "tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan Dia pilih. Tidak ada pilihan bagi mereka. Maha suci allah dari apa yang mereka perssekutukan".
        Dengan penciptaan tersebut, berarti daya dan kehendak yang terdapat dalam kasb tidak bersifat efektif, kalaulah daya itu bersifat efektif, tentulah perbuatan yang terwujud dengan daya yang ada pada manusia, bukan dengan pilihan dan kehendak mutlak tuhan. Dengan tidak efektifnya daya dan kehendak manusia dalam mewujudkan perbuatan, berarti manusia tidak punya andil dalam perbuatanya. Daya dan kehendak tuhanlah yang berlaku. Paham ini diwarnai oleh pendavat K.H. Mas mansyur yang menegaskan bahwa kehendak manusia adalah kehendak tuhan, dan apapun yang dilakukan manusia sebenarnya merupakan refleksi dari dari kehendak tuhan, dan apapun yang dilakukan manusia sebenarnya merupakan refleksi dari kehendak tuhan. Pendapat seperti inilah yang dirumuskan dalam himpunan putusan tarjih yang menyatakan bahwa manusia hanya dapat beriktiyar dan berusaha, sedangkan tuhan dengan kehendak –Nya menentukan perbuatan yang diciptakan-Nya.
        Bagi kaum asy’ariyah orang yang berdosa besar tetap mukmin, karena imanya masih ada. Tetapi karena dosa besar yang dilakukanya ia menjadi fasiq. Dengan demikian pandangan kaum asy’ariyah bertolak belakang dengan paham mu’tazilah yang beranggapan orang berdosa besar berada diantara dua posisi. Sekiranya orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pulah kafir

4.   Masalah Akal dan Wahyu serta Kriteria Baik dan Buruk.
        Teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal sebagai daya berfikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri tuhan dan wahyu sebagai pebghabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap tuhan.
        Menurut kaum mu'tazilah bahwa kewajiban mengetahui dan berterimakasih kepada tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui oleh akal. Sudah tentu bahwa sebelum sesuatu hal adalah wajib, orang harus terlebih dahulu  mengetahui hakikat hal itu sendiri. Tegasnya, sebelum mengetahui kewajiban berterimakasih kepada tuhan dan berkewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat, orang harus terlebih dahulu mengetahui tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Sebelum mengetahui hal itu tentu tak dapat menentukan sikap terhadapnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jawaban kaum mu'tazilah dapat diketahui oleh akal.
        Dari kaum asy'ariyah menolak sebagian besar pendapat kaum mu'tazilah, dalam pendapatnya kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui tuhan dan berterimakasih kepada-Nya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapat hukuman. Akal tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban manusia. Untuk itulah wahyu diperlukan   
        Bagi kaum Asy'ariyah, karena akal dapat mengetahui hanya adanya tuhan saja, wahyu mempunyai kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan buruk dan mengetahui kewajiban-kewajibanya hanya karena turunya wahyu. Dengan demikian jika sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan tahu kewajiban-kewajibanya. Sekiranya syari'at tidak ada, kata Al-Ghazali, manusia tidak akan berkewajiban mengetahui tuhan dan tidak akan berkewajiban berterima kasih kepada-Nya atas nikmat-nikmat yang diturunkan kepada manusia. Demikian juga soal baik dan buruk. Kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan buruk, diketahui dari perintah-perintah dan larangan-laranga tuhan. Segala larangan dan kewajiban diketahui melalui wahyu, sekiranya tidak ada wahyu maka tidak ada kewajiban dan larangan bagi manusia.
        Jelas bahwa dalam pendapat aliran Asy'ariyah bahwa wahyu mempunyai fungsi yang banyak sekali. Wahyu menentukan segala hal, jika wahyu tidak adamanusia akan bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya. Dan sebagai akibatnya manusia akan berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untk mengatur manusia, salah satu fungsi wahyu adalah memberi tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya didunia. Oleh karena itu pengiriman rasul-rasul dalam teologi  asy'ariyah seharusnya merupakan suatu kemestian dan bukan hanya suatu hal yang boleh terjadi (ja'iz) sebagaimana ditegaskan al-ghozali dan al-syahrastani.

5.   Masalah kemakhlukan Al-Qur’an.
        Mengenai sabda tuhan atau kalam allah (Al-Quran) persoalanya dalam teologi adalah, kalau sudah merupakan sifat, sabda mesti kekal. Tetapi sebaliknya sabda adalah tersusun oleh karena itu  mesti diciptakan dan tidak bias kekal.
        Kaum mu'tazilah menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa sabda bukanlah sifat tetapi perbuatan tuhan. Dengan demikian al-quran bukanlah bersifat kekal tetapi bersifat baharu dan diciptakan tuhan, argument mereka al-quran tersusun dari bagian-bagian berupa ayat dan surat, ayat yang satu mendahului yang lain pula. Adanya pada sesuatu, sifat terdahulu dan sifat datang kemudian, membuat sesuatu itu tidak bias bersifat qodim, yaitu tak bermula karena yan tak bermula itu tak didahului apapun.
        Kaum Asy'ariyah berpegang keras bahwa sabda adalah sifat dan sebagai sifat tuhan mestilah kekal. Sabda bagi mereka adalah arti atau makna abstrak dan tidak tersusun. Sabda bukanlah yang tersusun dari huruf dan suara. Sabda yang tersusun disebut sabda dalam arti kiasan. Sabda yang sebenarnya adalah apa yang terletak dan tersusundari huruf dan kata-kata bukanlah sabda tuhan. Sabda dalam arti abstrak inilah yang dapat bersifat kekal dan dapat menjadi sifat tuhan. Dan yang dimaksud dengan al-quran bukanlah yang tersusun dari huruf-huruf , kata-kata dan surat-surat, tetapi arti atau makna abstrak itu. Dalam arti inilah al-quran menjadi sabda tuhan dan bersifat  kekal. Dalam artian huruf,kata,ayat dan surat yang ditulis atau dibaca, al-quran bersifat baharu serta diciptakan.

6.   Masalah Melihat Tuhan.
Logika mengatakan bahwa Tuhan , kerena bersifat immateri, tak dapat dilihat dengan mata kepala. Dan inilah pendapat kaum mu'tazilah  sebagai argument, Abd al-jabbar mengatakan bahwa tuhan tak mengambil tempat dan dengan demikian tak dapat dilihat, karena yang dapat dilihat hanyalah yang mengambil tempat dan juga jika tuhan dapat dilihat dengan mata kepala Tuhan akan davit dilihat sekarang dalam ala mini juga. Dan tak ada tak ada orang yang melihat tuhan dialam ini.
Kaum Asy'ariyah sebaliknya, berperdapat bahwa tuhan akan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala diakhirat nanti. Paham ini dengan pendapat mereka bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat tajassum atau anthropomorphis, sungguhpun sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat jasmani manusia yang ada dalam alam materi ini. Tuhan berkuasa mutlak dan dan dapat mengadakan apa saja. Sebaliknya akal manusia lemah dan tak selamanya sanggup memahami perbuatan dan ciptaan tuhan. Apa saja sungguhpun itu sangat bertentangan dengan pendapat akal manuusia, dapat dibuat dan diciptakan tuhan. Malihat tuhan yang bersifat immateri dengan mata kepala, dengan demikian tidaklah mustahil manusia akan dapat melihat tuhan.
Argumen yang dimajukkan Asy'ariyah untuk memperkuat pendapat diatas adalah yang tak dapat dilihat hanyalah yang tak mempunyai wujud. Yang mempunyai wujud hanyalah mesti dapat dilihat.tuhan berwujud maka dari itu tuhan dapat dilihat, tuhan melihat apa yang ada dan dengan demikian melihat diri-Nya juga, kalau tuhan melihat diri-Nya, ia akan dapat membuat manusia bias melihat tuhan. Al-baghdadi  memajukan argument lain, manusia dapat melihat accidents (al-a'arad) karena manusia dapat membedakan antara putih dan hitam dan antara bersatu dengan bercerai. Maut juga dapat dilihat, yaitu dengan melihat orang mati. Kalau a'rad dapat dilihat maka tuhan juga dapat dilihat. Manusia tidak akan melihat tuhan didunia namun diakhirat.

7.   Masalah keadilan tuhan
Kaum mu’tazilah, karena percaya pada kekuatan akal dan kemerdekaan serta kebebasan manusia, mempunyai tendensi untuk meninjau wujud ini dari sudut rasio dan kepentingan manusia. Berbeda dengan kaum asy’ariyah, karena percaya kepada mutlaknya kekuasaan tuhan mempunyai tendensi yang sebaliknya. Mereka menolak paham mu’tazilah bahwa tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan tuhan tidak mempunyai tujuan, tujuan dalam arti sebab yang mendorong tuhan untuk berbuat sesuatu. Betul  bahwa perbuatan-perbuatan tuhan menimbulkan kebaikan dan keuntungan itu tetapi pengetahuan  maupun kebaikan serta keuntungan-keuntungan itu,tidaklah menjadi pendorong bagi tuhan untuk berbuat.tuhan berbuat semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lain. Dengan demikian mereka mempunyai tendensi untuk meninjau wujud dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan.
Sesuai dengan tendensi mereka untuk meninjau segala-galanya dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, keadilan mereka artikan “menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya,yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakanya sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik”. Dengan demikian keadilan tuhan mengandung arti bahwa tuhan memiliki kekuasaamutlak terhadap makhliknya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya dalam kerajaan-Nya. Ketidak adilalan bererti “menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang”.
Oleh karena itu, tuhan dalam paham kaum Asy’ariah dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, meskipun hal itu menurut pandangan manusia adalah tidak adil. Al-asy’ari sendiri berpendapat bahwa tuhan tidaklah berbuat salah kalau memasukkan seluruh kedalam surge dan tidaklah bersifat dzholim jika ia memasukkan seluruh manusia kedalam neraka. Perbuatan salah dan tidak adil adalah perbuatan yang melanggar hukum dan karena diatas tuhan tidak ada undang-undang atau hukum, perbuatan tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum. Dengan demikian tuhan tidak bias dikatakan bersifat tidak adil. Al-Ghozali mengeluarkan pendapat yang sama, ketidak adilan dapat timbul hanya jika seorang melanggar hak orang lain dan jika seorang harus berbuat sesuai dengan perintah dan keudian melanggar perintah itu, perbuatan yang demikian itu tidak mungkin ada pada tuhan.
Oleh kerna itu\, tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dengan makhlik-Nya. Al-Asy’ari juga berpendapat bahwa tuhan dapat menyakiti anak-anak kecil dihari kiamat, dapat menjatuhkan hukuman bagi orang mukmin dan dapat memasukkan orang kafir kedalam surge. Sekiranya ini dilakukan tuhan, tidak ada kata salah atas apa yang dilakukan tuhan, tuhan tetap bersifat adil. Upah yang diberikan tuhan merupakan rahmat dan hukuman tetap merupakan keadilan tuhan. Tuhan tidak berkewajiban memberikan pahala. Seperti kata Al-ghazali, tuhan memberikan upah kepada manusia jika itu dikehendaki-Nya dan akan memberikan hukuman kepada manusia jika itu dikehendaki-Nya, bahkan menghancurkan manusia jika menagng itu yang dikehendaki-Nya. Meskipun demikian tuhan tetap bersifat adil.




















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Asy’ariyah adalah salah satu nama sebuah aliran dimana namanya disandarkan kepada pendirinya,yaitu Abu Hasan al-Asy’ari.beliau lahir di Bashrah pada tahun 260 H/ 873M. Aliran Asy'ariyah memiliki prinsip dasar/dasar pemikiran, diantaranya adalah:
1.      Konsep tentang Tuhan dan Hakikat sifat Tuhan.
Menurut aliran Asy'ariyah tuhan bukanlah pengetahuan ('Ilm) tetapi yang mengetahui ('Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian pula sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.
2.      Konsep tentang keimanan
Bagi kaum asy’ariyah, dengan keyakinan mereka bahwa akal manusia tidak bisa sampai kepada kewajiban mengenai tuhan. Iman tidak bias mengenai ma’rifat atau amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban itu hanya melalui wahyu. iman bagi kaum asy’ari ialah tasdiq dan batasan iman ialah-tasdiq bi allah, yaitu menerima sebagai benar kabar tentang adanya tuhan.
3.      Masalah Kehendak Bebas, perbuatan manusia dan takdir (qadha dan qadar).
Terdapat pernyataan lain dari golongan Asy'ariyah. pertama, ditegaskan bahwa segala perbuatan manusia bergantung pada qadha dan qadhar Allah. lebih-lebih dengan penegasan bahwa segala perbuatan tuhanlah yang menentukan, sedang manusia hanya dapat berusaha dan berikhtiyar, namun usaha dan ikhtiyar itu tidak berpengaruh pada ketentuan tuhan. Pernyataan kedua, memperlihatkan tinjauan tentang perbuatan dari sisi tuhan dan manusia. Dari sisi tuhan perbuatan adalah ciptaan-Nya, sedangkan dari sisi manusia merupakan kasb darinya.
4.      Masalah Akal dan Wahyu serta Kriteria Baik dan Buruk.
pendapat aliran Asy'ariyah bahwa wahyu mempunyai fungsi yang banyak sekali. Wahyu menentukan segala hal, jika wahyu tidak adamanusia akan bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya. Dan sebagai akibatnya manusia akan berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untk mengatur manusia, salah satu fungsi wahyu adalah memberi tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya didunia.
5.      Masalah kemakhlukan Al-Qur’an.
Sabda bagi mereka adalah arti atau makna abstrak dan tidak tersusun. Sabda bukanlah yang tersusun dari huruf dan suara. Sabda yang tersusun disebut sabda dalam arti kiasan. Dalam artian huruf,kata,ayat dan surat yang ditulis atau dibaca, al-quran bersifat baharu serta diciptakan.
6.      Masalah Melihat Tuhan.
Kaum Asy'ariyah sebaliknya, berperdapat bahwa tuhan akan dapat dilihat oleh manusia denganmata kepala diakhirat nanti. Paham ini dengan pendapat mereka bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat tajassum atau anthropomorphis, sungguhpun sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat jasmani manusia yang ada dalam alam materi ini.
7.      Masalah keadilan tuhan
Sesuai dengan tendensi mereka untuk meninjau segala-galanya dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, keadilan mereka artikan “menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya,yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakanya sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik”. Dengan demikian keadilan tuhan mengandung arti bahwa tuhan memiliki kekuasaamutlak terhadap makhliknya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya dalam kerajaan-Nya. Ketidak adilalan bererti “menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang”.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Hard Rock Hotel Universal Rooms - Free Casino 카지노 카지노 1xbet 1xbet 2718Genesis Impact PC - stillcasino.com

Posting Komentar

KUMPULAN BAHASAN

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | ewa network review