Sabtu, 25 Januari 2014

PANDANGAN KAUM SUFI TENTANG MAKNA MAQOMAT, SABAR, TAWAKAL & RIDHO


PANDANGAN KAUM SUFI TENTANG MAKNA MAQOMAT, SABAR, TAWAKAL & RIDHO



BAB I
PENDAHULUAN

Tasawuf merupakan salah satu aspek islam sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran, adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hambah dengan tuhan-Nya. Esensi Tasawuf sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah SAW, namun pada masa Rosullullah belum ada istilah tasawuf, yang dikenal pada masa itu hanyalah sebutan sahabat nabi yang biasa disebut dengan sufi. Tasawuf pada awal perkembanganya berorientasi pada prilaku asketik (zuhud) yakni Menjauhi duniawi demi meraih pahala dan menjaga diri dari neraka  Perilaku asketik yang bersifat praktis, diamalkan, tanpa teori-teori yang mendasarinya. Didasarkan atas motivasi takut (Hasan Basri), yakni takut yang muncul dari kesadaran untuk beribadah secara sungguh-sumgguh. Perilaku awal para sufi terkait dengan prilaku asketik (zuhud) mulai berubah seiring perkembangan zaman namun tidak meninggalkan nilai asli ketauhidan.
Maqam arti dasarnya adalah "tempat berdiri", dalam terminologi sufistik berarti         tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat dia berdiri               menghadap kepada-Nya. Adapun "ahwal" bentuk jamak dari “hal” biasanya diartikan         sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela               perjalanan  spiritualnya. Al Qusyairi, menjelaskan “bahwa maqamat adalah etika                seorang hamba dalam wushul  (mencapai, menyambung) kepadanya dengan                       macam upaya, diwujudkan dengan tujuan pencarian dan ukuran tugas. Al Qusyairi menggambarkan maqamat dalam taubat, wara, zuhud, tawakal, sabar dan Ridha.”








BAB II
PEMBAHASN

A. Maqomat Sabar
Tingkatan Sabar (Ash-Shabru). Itu ada Karena dalam laku tasuwuf  (orang sufi) akan mengalami banyak hambatan, maka seorang sufi harus berlaku sabar. Sabar merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Arab, dan sudah menjadi istilah dalam bahasa Indonesia. Asal katanya adalah "Shobaro", yang membentuk infinitif (masdar) menjadi "shabran". Dari segi bahasa, sabar berarti menahan dan mencegah. Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Sedangkan dari segi istilahnya, sabar adalah:
Menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.”
Allah berfirman (QS.An-Nahl:127).
Yang Artinya: ”Bersabarlah, dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah”
Amru bin Usman mengatakan, bahwa sabar adalah keteguhan bersama Allah, menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan tenang. Hal senada juga dikemukakan oleh Imam al-Khowas, bahwa sabar adalah refleksi keteguhan untuk merealisasikan al-Qur'an dan sunnah. Sehingga sesungguhnya sabar tidak identik dengan kepasrahan dan ketidak mampuan. Justru orang yang seperti ini memiliki indikasi adanya ketidak sabaran untuk merubah kondisi    yang ada, ketidak sabaran untuk berusaha, ketidak sabaran untuk berjuang dan lain sebagainya. Sabar bukanlah sesuatu yang harus diterima seadanya, bahkan sabr adalah usaha kesungguhan yang juga merupakan sifat Allah yang sangat mulia dan tinggi. Sabar ialah menahan diri dalam memikul sesuatu penderitaan baik dalam sesuatu perkara yang tidak diingini mahupun dalam kehilangan sesuatu yang disenangi.
Diriwayatkan oleh Abu Hurayrah, bahwa A’isyah menuturkan hadits berikut ini dari Rasululloh SAW, “Sabar (yang sebenarnya) itu adalah pada saat menghadapi cobaan yang pertama.” karena itu sabar dibagi menjadi beberapa macam: sabar terhadap apa yang diperoleh si hambah (melalui amalan-amalanya), misalnya sabar menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah. Dan sabar terhadap apa yang diperoleh tanpa upaya, misalnya kesabaran dalam menjalankan ketentuan Allah yang menimbulkan kesukaran baginya.
Al-junayd menegaskan, “perjalanan dari dunia ke akhirat adalah mudah bagi orang yang beriman, tetapi menghindari makhluk demi allah adalah sulit. Dan perjalanan dari diri sendiri menuju Allah SWT adalah sangat sulit, tetapi yang lebih sulit lagi adalah bersabar terhadap Allah.” Ketika ditanya sabar Al-junayd menjawab, ”sabar adalah meminum kepahitan tanpa wajah cemberut.” Dan Ali bin abi thalib ra, menyatakan,”hubungan antara sabar dengan iman seperti hubungan antara kepala dengan badan.”
Al-jurayri menjelaskan,“sabar tidaklah membedakan keadaan bahagia atau menderita, disertai dengan ketentraman pikiran dalam keduanya. Ketabahan yang sabar adalah mengalami kedamaian ketika menerima cobaan, meskipun dengan adanya kesadaran akan  beban penderitaan.”
Syaikh Abu Ali ad-daqqaq menegaskan,”kebenaran hakiki tentang sabar adalah jika si hambah keluar dari cobaan dalam keadaan seperti ketika ia memasukinya, sebagaimana yang dikatakan oleh ayub as pada Akhir cobaan yang menimpanya, ‘sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah tuhan yang maha penyayang diantara semua yang penyayang’(QS.Al-Anbiya’:83). Ayyub memperlihatkan sikap berbicara yang layak dengan ucapanya,’Dan Engkau adalah Tuhan yang maha penyayang diantara semua yang menyayangi’ tetapi dia tidak bicara secara eksplesit [seperti yang dikatakanya], ‘Limpahkanlah kasih saying-Mu kepadaku’.”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:
1.      Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
2.      Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
3.      Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa     berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain.
Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam sabar terhadap perkara haram, sabar terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha.
Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia. Sedangkan              sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk        menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah    akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut sufi untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya. “Sabar atas keharaman  adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas kewajiban adalah sabar  atas kewajiban          ibadah. Dan semua hal yang termasuk dalam kewajiban ibadah  kepada Allah mewajibkan pula atas sufi untuk meniadakan segala angan-angannya bersama Allah”.

A.  Maqomat Tawakkal
Tawakal berasal dari kata “wakal” yang berarti “mewakilkan”. “Tawakkal” berarti memberikan perwakilan, kepasrahan, dan penyerahan diri kita kepada Allah. “Tawakkal” ialah pelepasan daripada kekuasaan dan kekuatan, tidak ada kekuasaan dan kekuatan apa pun melainkan daripada Allah semesta alam. Seseorang yang bertawakal adalah seseorang yang menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan segala urusannya hanya kepada Allah SWT.
Ibnu Qoyim al-Jauzi menjelaskan bahwa “Tawakal merupakan amalan dan ubudiyah hati dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, tsiqah terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala ‘kecukupan’ bagi dirinya, dengan tetap melaksanakan sebab-sebab yang mengarakhkannya pada sesuatu yang dicarinya) serta usaha keras untuk dapat memperolehnya.
Sahl bin Abdallah menjelaskan,”maqamat (kedudukan) pertama dalam tawakkl adalah bahwa si hambah berada ditanggan Allah SWT dalam keadaan seakan-akan dia sebujur mayat ditangan orang yang memandikanya, yang membolak-balikkanya sesuka hatinya tanpa mampu menguasai dirinya ataupun bergerak sendiri”. Hamdun menyatakan,”tawakkal adalah berpaud kepada Allah”.
Allah SWT berfirman (QS.At-Thalaq:3)
Yang Artinya: Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.

Ketika ibnu Atha’ ditanya tentang hakikat tawakkal, dia menjelaskan,”tawakkal adalah bahwa hendaknya hasrat menggebu-gebu terhadap hal-hal duniawi tidak muncul dalam dirimumeskipun engkau sngat membutuhkanya, dan bahwa hendaknya engkau senantiasa bersikap qana’ah dengan Allah meskipun engkau tergantung pada kebutuhan-kebutuhan duniawi itu.”
Sahl bin Abdullah menyatakan,“Tawakkal adalah keadaan (haal) Nabi SAW, dan ikhtiar adalah sunnahnya. Maka barang siapa yang memelihara keadaanya, berarti tidak meninggalkan sunnahnya. Tawakkal berarti hati yang hidup bersama Allah SWT dan tidak tertarik kepada yang lain.”
Ahmad bin Khudiryah menuturkan, “seorang laki-laki bertanya pada hatim Al-Asham, siapakah yang memberimu makan?, dia menjawab,’harta kekayaan langit dan bumi adalah milik Allah, tetapi orang-orang munafik tidak memahaminya’. ” (QS.Al-Munafiqun:7)
Yang Artinya:
              mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar): "Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada disisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)." Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami.
Ketahuilah bahwa tempat tawakkal adalah dalam hati manakala si hambah telah yakin bahwa takdir datangnya dari Allah SWT, hingga jika sesuatu tidak tercapai, maka dia akan melihat ketentuan Allah di dalamnya, dan jika sesuatu dianugerahkan kepadanya, dia melihat pertolongan Allah didalamnya.
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dengan mengendarai unta, dan ia bertanya “wahai Rasulullah SAW, haruskah saya biarkan saja unta saya lepas tanpa ditambatkan dan kemudian bertawakkal kepada Allah SWT?” Beliau menjawab, “tambatkanlah untamu dan sesudah itu bertawakkallah”.
Ibrahim Al-Khawwas menuturkan, “barang siapa yang benar-benar bertawakkal kepada Allah didalam urusan dirinya sendiri, pasti juga akan bertawakkal kepada Allah dalam urusan dengan orang lain.” Dikatakan,”tawakkal adalah mengandalkan apa yang ada ditangan Allah SWT dan berputus asa dari apa yang ada ditangan manusia .” dan dikatakan juga: “tawakkal adalah mengosongkan bathin dari pikiran untuk menuntut terpenuhinya kebutuhan dalam upayah mencairi rizki.”
Abu ya’qub al-Bashri menuturkan,”suatu ketika aku lapar selama sepuluh hari dimasjidil haram, dan aku merasa lemah. Nafsuku menggodaku. Lalu aku pergi ke tepi pantai mencari sesuatu yang akan menguatkan tubuhku, dan aku temukan sebungkus sayuran yang berceceran, mungkin yang tlah dibuang orang dan aku memungutnya. Ketika itu aku merasa gelisah karena perbuatanku itu, seolah-olah ada suara yang mengatakan padaku, ‘engkau sudah lapar sepuluh hari, dan sekarang bagimu makanan busuk itu’, maka sayuran itu kucampakkan kembali dan aku duduk-duduk. Kemudian datanglah seorang Persia, dia duduk dihadapanku sambil memberiku sebuah bingkisan. Aku bertanya’apakah anda memilih saya untuk diberi bingkisan ini?’ dia menjawab, ‘ketahuilah kami telah berada dilaut selama sepuluh hari, dan suatu ketika kapal yang kami tumpangi hampir tenggelam. Kami bernadzar jika Allah SWT menyelamatkan kami dari bahaya tersebut maka kami akan member bingkisan pada orang yang pertama kami temui di pantai ini atau sekitar masjid ini, dan yang aku temui adalah kamu.’ Lalu aku mengambil sebagian makanan dalam bingkisan itu seraya berkata pada diriku sendiri, selama sepuluh hari, rejekimu sedang diperjalanan menuju ketempatmu, tetapi engkau malah mencarinya pantai.”
Disini dijelaskan bahwa Tawakal Bukan Sekedar Hanya Pasrah, Perlu diketahui bahwa tawakal bukanlah hanya sikap bersandarnya hati kepada Allah semata, namun juga disertai dengan melakukan usaha. Ibnu Rajab mengatakan bahwa menjalankan tawakal tidaklah berarti seseorang harus meninggalkan sebab atau sunnatullah yang telah ditetapkan dan ditakdirkan. Karena Allah memerintahkan  kita untuk melakukan usaha sekaligus juga memerintahkan kita untuk bertawakal. Oleh karena itu, usaha dengan anggota badan untuk meraih sebab termasuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya.
Tawakkal mempunyai tiga tingkatan (maqom)
1.   Kepercayaan sang hambah kepada alloh, seperti kepercayaanya kepada wakil, dimana ia sudah mengetahui kejujuran,ketulusan maksud, identitas, dan keramah tamahanya.
2.   Hubungan seorang hambah dengan Allah, seperti hubungan bayi dengan ibu kandungnya.
Mengetahui ibunya dan hanya berlindungan pada ibunya dalam segala urusan dan sang ibu menjadi kecenderungan awal yang terbantuk dalam hatinya. Tingkatan ini memberi pengertian bahwa ia tidak meminta-minta dan memohon kepada selain Allah, karena ia percaya dengan kemuliaan dan kasih sayangnya.
3. Seperti gambaran orang sakit yang terkadang penyakitnya terus menerus berlanjut dan terkadang menghilang.

B.  Maqomat Ridlo
Ridha berasal dari kata radhiyah yang memiliki arti “rela” dan “menerima dengan suci hati”. Sedangkan menurut istilah, ridha berkaitan dengan perkara keimanan yang terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1.    Ridha hamba terhadap hukum Allah. Orang yang ridha terhadap hukum Allah akan senantiasa menjalankan perintah Allah dengan ikhlas, selalu bersyukur dan menjauhi segala yang dibenci Allah swt.
2.    Ridha Allah terhadap hamba-Nya. Jika Allah swt. meridhai hamba-Nya, Ia akan memberikan tambahan kenikmatan, pahala dan meninggikan derajat hamba-Nya tersebut
Ridha adalah puncak dari pada kecintaan yang diperoleh seorang sufi selepas menjalani proses ‘ubudiyyah yang panjang kepada Allah SWT. Ridha merupakan anugerah kebaikan yang diberikan Tuhan atas hambaNya daripada usahanya yang maksimal dalam pengabdian dan munajat. Rida juga merupakan manifestasi amal soleh sehingga memperoleh pahala dari pada kebaikannya tersebut.
Orang-orang Iraq dan Khurasan berbeda pendapat mengenai kerelaan. Apakah ia halal (keadaan) atau maqamat (tahapan)?. Orang Khurasan mengatakan,  “kerelaan adalah salah satu Maqom (tahapan), kerelaan adalah puncak dari sikap mempercayakan diri kepada Allah, ini berarti kerelaan dapat dinisbatkan kepada apa yang dicapai oleh si hambah dengan upauyahnya sendiri.” Sedang orang Irak mengatakan “kerelaan adalah salah satu halal (keadaan), bukan suatu yang diperoleh dengan upayah si hambah. Kerelaan adalah sesuatu yang memasuki hati, seperti halnya haal-haal yang lain.” Sebuah perpaduan antara dua pandangan ini bisa diajukan, yang bisa dinyatakan demikian,”awal kerelaan adalah suatu yang dicapai oleh si hambah dan merupakan maqam, meskipun pada akhirnya kerelaan adalah haal dan bukan suatu yang diperoleh dengan upayah.” Manakalah orang bicara tentang kerelaan, maasing-masing mengungkapkan keadaan dan “jatah” masing-masing, maka ungkapan pendapat mereka juga berbeda, sebagaimana berbedanya pengalaman dan “jatah” masing-masing. Tentang apa yang dimaksut dengan tanpa adanya keraguan sedikitpun, hal itu adalah bahwa orang yang rela terhadap Allah SWT adalah orang yang tidak berkeberatan terhadap takdirNya.
Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq menyatakan, “kerelaan bukanlah bahwa engkau tidak mengalami cobaan, kerelaan hanyalah bahwa engkau tidak berkeberatan terhadap ketetapan ilahi dan pengadilan-Nya.” Ketahuilah bahwa wajib bagi si hambah untuk bersikap rela hanya terhadap takdir yang dengannya ia telah diperintahkan untuk rela, sebab tidaklah mungkin ataupun perlu bahwa dia rela dengan setiap bagian dari takdirnya, seperti bagian kemaksiatan dan banyak cobaan yang menimpa kuam muslimin. Ridha atau rela merupakan alam aktif, orang yang ridha adalah orang yang berbuat atau bertindak dengan suka hati tanpa pamrih, orang yang mau berbuat dengan kemauan sendiri tanpa paksaan oleh siapapun.Konteks ridha tidak dapat dipisahkan dengan “kecintaan kepada Allah”. Ridha terkait dengan panggilan tuhan terhadap ornag yang sudah tenang hidupnya (zuhud), “Hai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”.
Ridha tidak berarti menerima begitu saja cobaan yang diberikan oleh Allah swt. Walaupun dalam pengertiannya, ridha berarti menerima apa yang diberikan Allah dengan sabar dan ikhlas, bukan berarti tanpa ada keinginan maupun usaha untuk mengubah situasi yang telah terjadi menjadi lebih baik lagi. Mereka yang ridha, dapat merasakan hikmah dan kebaikan Dzat yang mendatangkan ujian. Mereka tidak berburuk sangka kepadaNya. Disaat yang lain menghayati betapa Dia Maha Agung, Maha Mulia dan Maha Sempurna. Mereka bahkan dapat menikmati musibah yang menimpanya, karena mereka tahu bahwa musibah itu datangnya dari Dzat yang dicintainya. Ketika sesuatu yang tidak diinginkan datang menimpa, kita dituntut untuk ridha. Hal ini berarti kita meyakini bahwa apa yang telah menimpa kita itu adalah takdir yang telah Allah tetapkan, namun kita tetap dituntut untuk berusaha. Allah berfirman, QS. Ar-Ra’d :11
Yang Artinya: Allah SWT. tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Abdul Wakhid bin Zayd menjelaskan, “kerelaan adalah gerbang Allah terbesar dan surganya dunia ini.” Ketahuilah bahwa si hambah tidak akan mendekati derajat kerelaan terhadap Allah sampai Allah ridha terhadapnya, sebab Allah SWT telah berfirman :

Yang Artinya: ” Allah ridha kepada mereka, dan Allah pun rela kepadan-Nya.”

 Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan,  ”seorang murid bertanya kepada Syaikhnya, ’apakah si hambah mengetahui apakah Allah ridha kepadanya?’ sang syaikh menjawab,’tidak.bagaimana ia tahu hal itu sedangkan keridhaan-Nya adalah sesuatu yang tersembunyi?!’ si murid memprotes, tidak. Dia bisa mengetahuinya!, Syaikh bertanya, bagaimana si hambah bias tahu?. Si murid menjawab: jika saya mendapati hati saya rela kepada Allah SWT, maka saya tahu bahwa Dia ridha kepada saya. Maka sang syaikh lalu berkata, sungguh baik sekali ucapanmu itu anak mudah.”Hal ini menjelaskan bahwa Allah SWT bergantung pada prasangka hambahnya, dan Allah sangat dekat dengan hambahnya.
Ridha berbeda dari sabar dan pasrah. Sabar berarti menahan diri dari amarah dan kekesalan ketika merasa sakit sambil berharap derita itu segera hilang. Pasrah adalah menerima segala ketetapan Allah, tanpa ada ikhtiar untuk mengubahnya sedikitpun. Ridha berbeda dari keduanya dan ridha merupakan salah satu sifat yang diutamakan (dimuliakan) oleh Allah swt.
Maqam ridha bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha sufi sendiri. Akan tetapi ridha adalah anugerah yang diberikan Allah. Jika maqam ridha sudah ada dalam diri sufi, maka sudah pasti maqam tawakkal juga akan terwujud. Oleh karena itu, ada hubungan yang erat antara maqam ridha dan maqam tawakkal. Orang yang ridha terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya. Maqam tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa segala sesuatu ada dalam kekuasaan Allah.








BAB III
PENUTUP

A.  Simpulan
1.      sabar adalah Menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan.
2.      Para sufi mengklompokkan Sabar menjadi dua kelompok yakni:
a.       Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
b.      Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
c.       Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa     berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain.
3.      Tawakkal ialah pelepasan daripada kekuasaan dan kekuatan, tidak ada kekuasaan dan kekuatan apa pun melainkan daripada Allah semesta alam. Seseorang yang bertawakal adalah seseorang yang menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan segala urusannya hanya kepada Allah SWT.
4.      Tawakkal mempunyai tiga tingkatan (maqom) yaitu:
a.       Kepercayaan sang hambah kepada alloh, seperti kepercayaanya kepada wakil, dimana ia sudah mengetahui kejujuran,ketulusan maksud, identitas, dan keramah tamahanya.
b.      Hubungan seorang hambah dengan Allah, seperti hubungan bayi dengan ibu kandungnya.
c.       Seperti gambaran orang sakit yang terkadang penyakitnya terus menerus berlanjut dan terkadang menghilang.
5.      Ridho berkaitan dengan perkara keimanan yang terbagi menjadi dua macam, yaitu :
a.         Ridha hamba terhadap hukum Allah. Orang yang ridha terhadap hukum Allah akan senantiasa menjalankan perintah Allah dengan ikhlas, selalu bersyukur dan menjauhi segala yang dibenci Allah swt.
b.      Ridha Allah terhadap hamba-Nya. Jika Allah swt. meridhai hamba-Nya, Ia akan memberikan tambahan kenikmatan, pahala dan meninggikan derajat hamba-Nya tersebut

0 komentar:

Posting Komentar

KUMPULAN BAHASAN

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | ewa network review