PANDANGAN KAUM SUFI TENTANG MAKNA MAQOMAT, SABAR, TAWAKAL & RIDHO
BAB I
PENDAHULUAN
Tasawuf merupakan salah satu aspek islam sebagai perwujudan dari
ihsan yang berarti kesadaran, adanya komunikasi dan dialog langsung seorang
hambah dengan tuhan-Nya. Esensi Tasawuf sebenarnya telah ada sejak zaman
Rasulullah SAW, namun pada masa Rosullullah belum ada istilah tasawuf, yang
dikenal pada masa itu hanyalah sebutan sahabat nabi yang biasa disebut dengan
sufi. Tasawuf pada awal perkembanganya berorientasi pada prilaku asketik
(zuhud) yakni Menjauhi duniawi demi meraih pahala dan menjaga diri dari
neraka Perilaku asketik yang bersifat
praktis, diamalkan, tanpa teori-teori yang mendasarinya. Didasarkan atas
motivasi takut (Hasan Basri), yakni takut yang muncul dari kesadaran untuk
beribadah secara sungguh-sumgguh. Perilaku awal para sufi terkait dengan
prilaku asketik (zuhud) mulai berubah seiring perkembangan zaman namun tidak
meninggalkan nilai asli ketauhidan.
Maqam arti
dasarnya adalah "tempat berdiri", dalam terminologi sufistik
berarti tempat atau martabat
seseorang hamba di hadapan Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya. Adapun
"ahwal" bentuk jamak dari “hal” biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states)
yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Al Qusyairi, menjelaskan “bahwa
maqamat adalah etika
seorang hamba dalam wushul
(mencapai, menyambung) kepadanya dengan macam upaya, diwujudkan dengan tujuan
pencarian dan ukuran tugas. Al Qusyairi menggambarkan maqamat dalam taubat,
wara, zuhud, tawakal, sabar dan Ridha.”
BAB II
PEMBAHASN
A. Maqomat Sabar
Tingkatan Sabar (Ash-Shabru). Itu ada Karena
dalam laku tasuwuf (orang sufi) akan
mengalami banyak hambatan, maka seorang sufi harus berlaku sabar. Sabar
merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Arab, dan sudah menjadi
istilah dalam bahasa Indonesia. Asal katanya adalah "Shobaro", yang
membentuk infinitif (masdar) menjadi "shabran". Dari segi bahasa,
sabar berarti menahan dan mencegah. Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang
hamba. Sedangkan dari segi istilahnya, sabar adalah:
Menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.”
Menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.”
Allah berfirman
(QS.An-Nahl:127).
Yang Artinya: ”Bersabarlah, dan tiadalah
kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah”
Amru bin Usman mengatakan, bahwa sabar adalah
keteguhan bersama Allah, menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan tenang. Hal
senada juga dikemukakan oleh Imam al-Khowas, bahwa sabar adalah refleksi
keteguhan untuk merealisasikan al-Qur'an dan sunnah. Sehingga sesungguhnya
sabar tidak identik dengan kepasrahan dan ketidak mampuan. Justru orang yang
seperti ini memiliki indikasi adanya ketidak sabaran untuk merubah kondisi yang ada, ketidak sabaran untuk berusaha,
ketidak sabaran untuk berjuang dan lain sebagainya. Sabar bukanlah sesuatu yang
harus diterima seadanya, bahkan sabr adalah usaha kesungguhan yang juga
merupakan sifat Allah yang sangat mulia dan tinggi. Sabar ialah menahan diri
dalam memikul sesuatu penderitaan baik dalam sesuatu perkara yang tidak
diingini mahupun dalam kehilangan sesuatu yang disenangi.
Diriwayatkan
oleh Abu Hurayrah, bahwa A’isyah menuturkan hadits berikut ini dari Rasululloh
SAW, “Sabar (yang sebenarnya) itu adalah pada saat menghadapi cobaan yang pertama.”
karena itu sabar dibagi menjadi beberapa macam: sabar terhadap apa yang
diperoleh si hambah (melalui amalan-amalanya), misalnya sabar menjalankan
perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah. Dan sabar terhadap apa
yang diperoleh tanpa upaya, misalnya kesabaran dalam menjalankan ketentuan
Allah yang menimbulkan kesukaran baginya.
Al-junayd
menegaskan, “perjalanan dari dunia ke akhirat adalah mudah bagi orang yang
beriman, tetapi menghindari makhluk demi allah adalah sulit. Dan perjalanan dari
diri sendiri menuju Allah SWT adalah sangat sulit, tetapi yang lebih sulit lagi
adalah bersabar terhadap Allah.” Ketika ditanya sabar Al-junayd menjawab,
”sabar adalah meminum kepahitan tanpa wajah cemberut.” Dan Ali bin abi thalib
ra, menyatakan,”hubungan antara sabar dengan iman seperti hubungan antara
kepala dengan badan.”
Al-jurayri
menjelaskan,“sabar tidaklah membedakan keadaan bahagia atau menderita, disertai
dengan ketentraman pikiran dalam keduanya. Ketabahan yang sabar adalah
mengalami kedamaian ketika menerima cobaan, meskipun dengan adanya kesadaran
akan beban penderitaan.”
Syaikh Abu Ali
ad-daqqaq menegaskan,”kebenaran hakiki tentang sabar adalah jika si hambah
keluar dari cobaan dalam keadaan seperti ketika ia memasukinya, sebagaimana
yang dikatakan oleh ayub as pada Akhir cobaan yang menimpanya, ‘sesungguhnya
aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah tuhan yang maha penyayang diantara
semua yang penyayang’(QS.Al-Anbiya’:83). Ayyub memperlihatkan sikap berbicara
yang layak dengan ucapanya,’Dan Engkau adalah Tuhan yang maha penyayang
diantara semua yang menyayangi’ tetapi dia tidak bicara secara eksplesit
[seperti yang dikatakanya], ‘Limpahkanlah kasih saying-Mu kepadaku’.”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:
1.
Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada
Allah
2.
Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang
diharamkan Allah
3.
Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah
yang dialaminya, berupa berbagai hal
yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun
yang berasal dari orang lain.
Ibn ‘Ata’illah
membagi sabar menjadi 3 macam sabar terhadap perkara haram, sabar terhadap
kewajiban, dan sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha.
Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia. Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut sufi untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya. “Sabar atas keharaman adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas kewajiban adalah sabar atas kewajiban ibadah. Dan semua hal yang termasuk dalam kewajiban ibadah kepada Allah mewajibkan pula atas sufi untuk meniadakan segala angan-angannya bersama Allah”.
Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia. Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut sufi untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya. “Sabar atas keharaman adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas kewajiban adalah sabar atas kewajiban ibadah. Dan semua hal yang termasuk dalam kewajiban ibadah kepada Allah mewajibkan pula atas sufi untuk meniadakan segala angan-angannya bersama Allah”.
A. Maqomat Tawakkal
Tawakal berasal
dari kata “wakal” yang berarti “mewakilkan”. “Tawakkal” berarti memberikan
perwakilan, kepasrahan, dan penyerahan diri kita kepada Allah. “Tawakkal” ialah
pelepasan
daripada kekuasaan dan kekuatan, tidak ada kekuasaan dan kekuatan apa pun melainkan
daripada Allah semesta alam. Seseorang yang bertawakal adalah seseorang yang menyerahkan,
mempercayakan dan mewakilkan segala urusannya hanya kepada Allah SWT.
Ibnu Qoyim al-Jauzi menjelaskan bahwa “Tawakal merupakan amalan dan
ubudiyah hati dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, tsiqah
terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa
dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala
‘kecukupan’ bagi dirinya, dengan tetap melaksanakan sebab-sebab yang
mengarakhkannya pada sesuatu yang dicarinya) serta usaha keras untuk dapat
memperolehnya.
Sahl bin Abdallah menjelaskan,”maqamat (kedudukan) pertama dalam
tawakkl adalah bahwa si hambah berada ditanggan Allah SWT dalam keadaan
seakan-akan dia sebujur mayat ditangan orang yang memandikanya, yang
membolak-balikkanya sesuka hatinya tanpa mampu menguasai dirinya ataupun
bergerak sendiri”. Hamdun menyatakan,”tawakkal adalah berpaud kepada Allah”.
Allah
SWT berfirman (QS.At-Thalaq:3)
Yang Artinya: Dan memberinya rezki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah
akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang
(dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu.
Ketika ibnu Atha’ ditanya tentang hakikat tawakkal, dia
menjelaskan,”tawakkal adalah bahwa hendaknya hasrat menggebu-gebu terhadap
hal-hal duniawi tidak muncul dalam dirimumeskipun engkau sngat membutuhkanya,
dan bahwa hendaknya engkau senantiasa bersikap qana’ah dengan Allah meskipun
engkau tergantung pada kebutuhan-kebutuhan duniawi itu.”
Sahl bin Abdullah menyatakan,“Tawakkal adalah keadaan (haal) Nabi
SAW, dan ikhtiar adalah sunnahnya. Maka barang siapa yang memelihara keadaanya,
berarti tidak meninggalkan sunnahnya. Tawakkal berarti hati yang hidup bersama
Allah SWT dan tidak tertarik kepada yang lain.”
Ahmad bin Khudiryah menuturkan, “seorang laki-laki bertanya pada
hatim Al-Asham, siapakah yang memberimu makan?, dia menjawab,’harta kekayaan
langit dan bumi adalah milik Allah, tetapi orang-orang munafik tidak
memahaminya’. ” (QS.Al-Munafiqun:7)
Yang Artinya:
mereka orang-orang yang
mengatakan (kepada orang-orang Anshar): "Janganlah kamu memberikan perbelanjaan
kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada disisi Rasulullah supaya mereka bubar
(meninggalkan Rasulullah)." Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan
langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami.
Ketahuilah bahwa tempat tawakkal adalah dalam hati manakala si
hambah telah yakin bahwa takdir datangnya dari Allah SWT, hingga jika sesuatu
tidak tercapai, maka dia akan melihat ketentuan Allah di dalamnya, dan jika
sesuatu dianugerahkan kepadanya, dia melihat pertolongan Allah didalamnya.
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa seorang laki-laki datang
kepada Rasulullah SAW dengan mengendarai unta, dan ia bertanya “wahai
Rasulullah SAW, haruskah saya biarkan saja unta saya lepas tanpa ditambatkan
dan kemudian bertawakkal kepada Allah SWT?” Beliau menjawab, “tambatkanlah
untamu dan sesudah itu bertawakkallah”.
Ibrahim Al-Khawwas menuturkan, “barang siapa yang benar-benar
bertawakkal kepada Allah didalam urusan dirinya sendiri, pasti juga akan
bertawakkal kepada Allah dalam urusan dengan orang lain.” Dikatakan,”tawakkal
adalah mengandalkan apa yang ada ditangan Allah SWT dan berputus asa dari apa
yang ada ditangan manusia .” dan dikatakan juga: “tawakkal adalah mengosongkan
bathin dari pikiran untuk menuntut terpenuhinya kebutuhan dalam upayah mencairi
rizki.”
Abu ya’qub al-Bashri menuturkan,”suatu ketika aku lapar selama
sepuluh hari dimasjidil haram, dan aku merasa lemah. Nafsuku menggodaku. Lalu
aku pergi ke tepi pantai mencari sesuatu yang akan menguatkan tubuhku, dan aku
temukan sebungkus sayuran yang berceceran, mungkin yang tlah dibuang orang dan
aku memungutnya. Ketika itu aku merasa gelisah karena perbuatanku itu,
seolah-olah ada suara yang mengatakan padaku, ‘engkau sudah lapar sepuluh hari,
dan sekarang bagimu makanan busuk itu’, maka sayuran itu kucampakkan kembali
dan aku duduk-duduk. Kemudian datanglah seorang Persia, dia duduk dihadapanku
sambil memberiku sebuah bingkisan. Aku bertanya’apakah anda memilih saya untuk
diberi bingkisan ini?’ dia menjawab, ‘ketahuilah kami telah berada dilaut
selama sepuluh hari, dan suatu ketika kapal yang kami tumpangi hampir
tenggelam. Kami bernadzar jika Allah SWT menyelamatkan kami dari bahaya
tersebut maka kami akan member bingkisan pada orang yang pertama kami temui di
pantai ini atau sekitar masjid ini, dan yang aku temui adalah kamu.’ Lalu aku
mengambil sebagian makanan dalam bingkisan itu seraya berkata pada diriku
sendiri, selama sepuluh hari, rejekimu sedang diperjalanan menuju ketempatmu,
tetapi engkau malah mencarinya pantai.”
Disini
dijelaskan bahwa Tawakal Bukan Sekedar Hanya Pasrah, Perlu diketahui bahwa
tawakal bukanlah hanya sikap bersandarnya hati kepada Allah semata, namun juga
disertai dengan melakukan usaha. Ibnu Rajab mengatakan bahwa menjalankan
tawakal tidaklah berarti seseorang harus meninggalkan sebab atau sunnatullah
yang telah ditetapkan dan ditakdirkan. Karena Allah memerintahkan kita untuk melakukan usaha sekaligus juga
memerintahkan kita untuk bertawakal. Oleh karena itu, usaha dengan anggota
badan untuk meraih sebab termasuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal
dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya.
Tawakkal mempunyai tiga tingkatan (maqom)
1.
Kepercayaan
sang hambah kepada alloh, seperti kepercayaanya kepada wakil, dimana ia sudah
mengetahui kejujuran,ketulusan maksud, identitas, dan keramah tamahanya.
2.
Hubungan
seorang hambah dengan Allah, seperti hubungan bayi dengan ibu kandungnya.
Mengetahui
ibunya dan hanya berlindungan pada ibunya dalam segala urusan dan sang ibu
menjadi kecenderungan awal yang terbantuk dalam hatinya. Tingkatan ini memberi
pengertian bahwa ia tidak meminta-minta dan memohon kepada selain Allah, karena
ia percaya dengan kemuliaan dan kasih sayangnya.
3. Seperti gambaran orang sakit yang terkadang penyakitnya terus
menerus berlanjut dan terkadang menghilang.
B. Maqomat Ridlo
Ridha berasal
dari kata radhiyah yang memiliki arti “rela” dan “menerima dengan suci hati”.
Sedangkan menurut istilah, ridha berkaitan dengan perkara keimanan yang terbagi
menjadi dua macam, yaitu :
1.
Ridha hamba terhadap hukum Allah. Orang yang
ridha terhadap hukum Allah akan senantiasa menjalankan perintah Allah dengan
ikhlas, selalu bersyukur dan menjauhi segala yang dibenci Allah swt.
2.
Ridha Allah terhadap hamba-Nya. Jika Allah swt.
meridhai hamba-Nya, Ia akan memberikan tambahan kenikmatan, pahala dan
meninggikan derajat hamba-Nya tersebut
Ridha adalah puncak dari pada kecintaan yang
diperoleh seorang sufi selepas menjalani proses ‘ubudiyyah yang panjang kepada
Allah SWT. Ridha merupakan anugerah kebaikan yang diberikan Tuhan atas hambaNya
daripada usahanya yang maksimal dalam pengabdian dan munajat. Rida juga
merupakan manifestasi amal soleh sehingga memperoleh pahala dari pada kebaikannya
tersebut.
Orang-orang
Iraq dan Khurasan berbeda pendapat mengenai kerelaan. Apakah ia halal (keadaan)
atau maqamat (tahapan)?. Orang Khurasan mengatakan, “kerelaan adalah salah satu Maqom (tahapan),
kerelaan adalah puncak dari sikap mempercayakan diri kepada Allah, ini berarti
kerelaan dapat dinisbatkan kepada apa yang dicapai oleh si hambah dengan
upauyahnya sendiri.” Sedang orang Irak mengatakan “kerelaan adalah salah satu
halal (keadaan), bukan suatu yang diperoleh dengan upayah si hambah. Kerelaan
adalah sesuatu yang memasuki hati, seperti halnya haal-haal yang lain.” Sebuah
perpaduan antara dua pandangan ini bisa diajukan, yang bisa dinyatakan
demikian,”awal kerelaan adalah suatu yang dicapai oleh si hambah dan merupakan
maqam, meskipun pada akhirnya kerelaan adalah haal dan bukan suatu yang
diperoleh dengan upayah.” Manakalah orang bicara tentang kerelaan,
maasing-masing mengungkapkan keadaan dan “jatah” masing-masing, maka ungkapan
pendapat mereka juga berbeda, sebagaimana berbedanya pengalaman dan “jatah”
masing-masing. Tentang apa yang dimaksut dengan tanpa adanya keraguan
sedikitpun, hal itu adalah bahwa orang yang rela terhadap Allah SWT adalah
orang yang tidak berkeberatan terhadap takdirNya.
Syaikh
Abu Ali ad-Daqqaq menyatakan, “kerelaan bukanlah bahwa engkau tidak mengalami
cobaan, kerelaan hanyalah bahwa engkau tidak berkeberatan terhadap ketetapan
ilahi dan pengadilan-Nya.” Ketahuilah bahwa wajib bagi si hambah untuk bersikap
rela hanya terhadap takdir yang dengannya ia telah diperintahkan untuk rela,
sebab tidaklah mungkin ataupun perlu bahwa dia rela dengan setiap bagian dari
takdirnya, seperti bagian kemaksiatan dan banyak cobaan yang menimpa kuam
muslimin. Ridha atau rela merupakan alam aktif, orang yang ridha adalah orang
yang berbuat atau bertindak dengan suka hati tanpa pamrih, orang yang mau
berbuat dengan kemauan sendiri tanpa paksaan oleh siapapun.Konteks ridha tidak
dapat dipisahkan dengan “kecintaan kepada Allah”. Ridha terkait dengan
panggilan tuhan terhadap ornag yang sudah tenang hidupnya (zuhud), “Hai jiwa
yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya”.
Ridha tidak
berarti menerima begitu saja cobaan yang diberikan oleh Allah swt. Walaupun
dalam pengertiannya, ridha berarti menerima apa yang diberikan Allah dengan
sabar dan ikhlas, bukan berarti tanpa ada keinginan maupun usaha untuk mengubah
situasi yang telah terjadi menjadi lebih baik lagi. Mereka yang ridha, dapat
merasakan hikmah
dan kebaikan Dzat yang mendatangkan ujian. Mereka tidak berburuk sangka
kepadaNya. Disaat yang lain menghayati betapa Dia Maha Agung, Maha Mulia dan
Maha Sempurna. Mereka bahkan dapat menikmati musibah yang menimpanya, karena
mereka tahu bahwa musibah itu datangnya dari Dzat yang dicintainya. Ketika
sesuatu yang tidak diinginkan datang menimpa, kita dituntut untuk ridha. Hal
ini berarti kita meyakini bahwa apa yang telah menimpa kita itu adalah takdir
yang telah Allah tetapkan, namun kita tetap dituntut untuk berusaha. Allah
berfirman, QS. Ar-Ra’d :11
Yang Artinya: Allah SWT. tidak mengubah keadaan
suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Abdul Wakhid bin Zayd menjelaskan, “kerelaan adalah gerbang Allah
terbesar dan surganya dunia ini.” Ketahuilah bahwa si hambah tidak akan mendekati
derajat kerelaan terhadap Allah sampai Allah ridha terhadapnya, sebab Allah SWT
telah berfirman :
Yang Artinya: ”
Allah ridha kepada mereka, dan Allah pun rela kepadan-Nya.”
Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq
menuturkan, ”seorang murid bertanya
kepada Syaikhnya, ’apakah si hambah mengetahui apakah Allah ridha kepadanya?’
sang syaikh menjawab,’tidak.bagaimana ia tahu hal itu sedangkan keridhaan-Nya
adalah sesuatu yang tersembunyi?!’ si murid memprotes, tidak. Dia bisa
mengetahuinya!, Syaikh bertanya, bagaimana si hambah bias tahu?. Si murid
menjawab: jika saya mendapati hati saya rela kepada Allah SWT, maka saya tahu
bahwa Dia ridha kepada saya. Maka sang syaikh lalu berkata, sungguh baik sekali
ucapanmu itu anak mudah.”Hal ini menjelaskan bahwa Allah SWT bergantung pada
prasangka hambahnya, dan Allah sangat dekat dengan hambahnya.
Ridha berbeda
dari sabar dan pasrah. Sabar berarti menahan diri dari amarah dan kekesalan
ketika merasa sakit sambil berharap derita itu segera hilang. Pasrah adalah
menerima segala ketetapan Allah, tanpa ada ikhtiar untuk mengubahnya
sedikitpun. Ridha berbeda dari keduanya dan ridha merupakan salah satu sifat
yang diutamakan (dimuliakan) oleh Allah swt.
Maqam ridha bukanlah maqam yang diperoleh atas
usaha sufi sendiri. Akan tetapi ridha adalah anugerah yang diberikan Allah.
Jika maqam ridha sudah ada dalam diri sufi, maka sudah pasti maqam tawakkal
juga akan terwujud. Oleh karena itu, ada hubungan yang erat antara maqam ridha
dan maqam tawakkal. Orang yang ridha terhadap ketentuan dan kepastian Allah,
dia akan menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan
berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik
bagi dirinya. Maqam tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa
segala sesuatu ada dalam kekuasaan Allah.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1.
sabar adalah Menahan diri dari sifat kegundahan
dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota
tubuh dari perbuatan yang tidak terarah. Dengan kesabaran itulah seorang hamba
akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam
menghadapi berbagai macam cobaan.
2.
Para sufi
mengklompokkan Sabar menjadi dua kelompok yakni:
a.
Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada
Allah
b.
Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang
diharamkan Allah
c.
Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah
yang dialaminya, berupa berbagai hal
yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun
yang berasal dari orang lain.
3.
Tawakkal ialah pelepasan daripada kekuasaan dan kekuatan, tidak ada kekuasaan dan
kekuatan apa pun melainkan daripada Allah semesta alam. Seseorang yang bertawakal adalah seseorang yang menyerahkan,
mempercayakan dan mewakilkan segala urusannya hanya kepada Allah SWT.
4.
Tawakkal
mempunyai tiga tingkatan (maqom) yaitu:
a.
Kepercayaan
sang hambah kepada alloh, seperti kepercayaanya kepada wakil, dimana ia sudah
mengetahui kejujuran,ketulusan maksud, identitas, dan keramah tamahanya.
b.
Hubungan
seorang hambah dengan Allah, seperti hubungan bayi dengan ibu kandungnya.
c.
Seperti
gambaran orang sakit yang terkadang penyakitnya terus menerus berlanjut dan
terkadang menghilang.
5.
Ridho berkaitan
dengan perkara keimanan yang terbagi menjadi dua macam, yaitu :
a.
Ridha hamba terhadap hukum Allah. Orang yang
ridha terhadap hukum Allah akan senantiasa menjalankan perintah Allah dengan
ikhlas, selalu bersyukur dan menjauhi segala yang dibenci Allah swt.
b.
Ridha Allah terhadap hamba-Nya. Jika Allah swt.
meridhai hamba-Nya, Ia akan memberikan tambahan kenikmatan, pahala dan
meninggikan derajat hamba-Nya tersebut
0 komentar:
Posting Komentar