PEMIKIRAN TEOLOGI ASY'ARIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
Munculnya berbagai macam golongan-golongan aliran pemikiran dalam
Islam telah memberikan warna tersendiri dalam agama Islam. Pemikiran-pemikiran
ini muncul setelah wafatnya Rosulullah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
munculnya berbagai golongan dengan segala pemikiranya. Diantaranya adalah
faktor poitik sebagaimana yang telah terjadi pertentangan antara kelompok Ali
dengan pengikut Muawiyah, sehingga memunculkan golongan yang baru yaitu
golongan khawarij. Lalu muncullah golongan-golongan lain sebagai reaksi dari
golongan satu pada golongan yang lain.
Asy’ariyah adalah salah satu nama sebuah aliran dimana namanya
disandarkan kepada pendirinya,yaitu Abu Hasan al-Asy’ari.beliau lahir di
Bashrah pada tahun 260 H/ 873M. Ayah Asy’ari meninggal saat Asy’ari masih
kecil. Ketika beliau berumur 40 tahun,
beliau melakukan hijrah ke Baghdad dan wafat disana pada tahun 324H/ 935M.
Menurut Ibn Assakir, ayah Asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahl-sunnah dan
beliau juga seorang ahli hadits. Namun setelah sepeninggal ayahnya, ibunda
Asy’ari menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yaitu Abu Ali Al-Jubba’i.
Sejak kecil Asy’ari di didik oleh ayah tiri sekaligus gurunya yang berfaham
Mu’tazilah, sehingga Asy’ari menjadi
salah satu tokoh Mu’tazilah. Selain menjadi tokoh Mu’tazilah, Asy’ari juga berguru kepada ulama lain tentang hadits,
fiqh, tafsir, bahasa serta beliau juga belajar fiqh syafi’i kepada seorang ahli
fiqh : Abu Ishaqal Maruzi, seorang tokoh Mu’tazilah di Bashrah.
Asy’ari mengikuti faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40
tahun, setelah itu ia keluar dari Mu’tazilah, karena ia merasa ragu dengan
faham tersebut. Kesimpulan ini juga diperkuat pula oleh riwayat yang mengatakan
bahwa Asy’ari mengasingkan diri di rumah selama 15 hari untuk memikirkan ajaran
– ajaran Mu’tazilah. Sesudah itu ia keluar rumah dan secara tiba – tiba dia
mengumumkan di hadapan masyarakat Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan
Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan – keburukan dari aliran Mu’tazilah
tersebut. Setelah beliau keluar dari Mu’tazilah, beliau merumuskan ajaran –
ajaranya kembali berdasarkan Manhaj Salafus Shalih, dengan mendasarkan pada
nash Al- Qur’an dan Hadits, tetapi menerangkannya dengan metode scholastic yang
rasional sebatas memperkuat dan menjelaskan
pemahaman nash dan ternyata perumusan ajaran tersebut dapat diterima
oleh mayoritas Umat Islam.
Ada juga yang berpendapat bahwa Asy’ari termasuk golongan Murji’ah,
dengan berdasarkan pada alasan Asy’ari tersendiri yang menyatakan bahwa “Iman
adalah pengakuan dalam hati tentang keesaan Tuhan dan tentang
kebenaran-kebenaran Rasul – Rasul serta segala apa yang mereka bawa.
Mengucapkannya dengan lisan dan mengerjakan rukun – rukun Islam merupakan cabang
– cabang dari iman. Orang yang berdosa besar, jika meninggalkan dunia tanpa
taubat, nasibnya terletak ditangan Tuhan. Ada kemungkinan Tuhan akan mengampuni
dosa – dosanya atau sebaliknya dan menyiksa dia di dalam neraka sesuai dengan
dosa – dosa yang diperbuatnya dan kemudian dimasukkan ke surga, karena ia tak
akan kekal tinggal di dalam neraka. Menurut Ahmad Mahmud Subhi, syaknya Asy’ari
yang menimbulkan Asy’ari keluar dari Mu’tazilah adalah dikarenakan Asy’ari
bermadzhab Syafi’i yang dimana pendapat teologi Syafi’i itu berlainan dengan
ajaran – ajaran Mu’tazilah.
Adapun faktor yang
menyebabkan Asy’ari keluar dari Mu’tazilah, yaitu :
1. Pengakuan Asy’ari yang telah bermimpi bertemu
dengan Nabi Muhammad sebanyak 3x, yaitu pada malam ke-10, ke-20 dan ke-30 di
Bulan Ramadhan.
2. Asy’ari menemukan adanya beberapa pandangan
yang kontroversial dalam aliran Mu’tazilah.
Aliran Asy'ariyah memiliki prinsip dasar/dasar pemikiran, diantaranya adalah:
1. Konsep tentang Tuhan dan Hakikat sifat Tuhan.
2. Konsep keimanan
3. Masalah Kehendak Bebas, perbuatan manusia dan takdir (qadha dan qadar).
4. Masalah Akal dan Wahyu serta Kriteria Baik dan
Buruk.
5. Masalah kemakhlukan Al-Qur’an.
6. Masalah Melihat Tuhan.
7. Masalah keadilam tuhan
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Konsep tentang Tuhan dan Hakikat sifat Tuhan.
Pertentangan
paham
antara kaum mu'tazilah dengan kaum Asy'ariyah dalam masalah ini berkisar
sekitar persoalan
apakah
tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika tuhan mempunyai
sifat-sifat itu mestilah kekal sepertihalnya
dengan zat tuhan. Dan selanjutnya jika sifat-sifat itu kekal, maka yang
bersifat kekal bukanlah satu, tetapi
banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat akan membawa pula
kepada
banyak yang kekal. Dan ini selanjutnya membawa pula
kepada paham
syirik atau polytheisme. Suatu hal yang tak dapat
diterimadalam teologi. Kaum mu'tazilah mengatakan bahwa tuhan tidak mempunyai
sifat.
Menurutkaun
Asy'ariyah, tidak dapat diingkari
bahwa tuhan mempunyai sifat
karena perbuatan-perbuatanya,
disamping
menyatakan bahwa tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya, juga
mempunyai
pengetahuan,
kemauan dan daya. Dan menurut al-baghdadi, terdapat
konsensus dikalangan kaum Asy'ariyah bahwa daya, pengetahuan,hayat,
kemauan, pendengaran, penglihatan dan
sabda tuhan adalah kekal. sifat-sifat ini kata al-ghazali, tidaklah sama dengan
esensi tuhan tetapi berwujud
dalam esensi itu sendiri.
Menurut aliran
Asy'ariyah tuhan bukanlah pengetahuan
('Ilm) tetapi yang mengetahui ('Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan
dan pengetahuan-Nya
bukanlah zat-Nya. Demikian pula sifat-sifat
seperti
sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat. tuhan dapat
dilihat di akhirat, diantara alasan-alasanya adalah bahwa sifat-sifat yang yang
tak dapat
diberikan pada tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa arti diciptakanya
tuhan. Sifat bahwa tuhan dapat dilihat
tidak membawa pada hal ini, karena apa
yang dapat
dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa ia mesti bersifat diciptakan.
Dengan demikian kalau dikatakan tuhan dapat
dilihat, itu tidak mesti berarti bahwa tuhan harus bersifat diciptakan.
2.
Konsep
keimanan
Menurut khawarij iman adalah mengerjakan segala sesuatu apa yang
diperintahkan tuhan, jika tidak maka disebut kafir. Sedangkan iman menurut
murjiah ialah iman merupakan dalam hati dan pelaku dosa besar tidaklah kafir.
Sedangkan menurut kaum mu’tazilah iman bukanlah tasdiq bukan pula ma’rifat,
tetapi amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui tuhan, tegasnya iman
bagi mereka adalah pelaksanaan perintah tuhan.
Bagi kaum asy’ariyah, dengan keyakinan mereka bahwa akal manusia
tidak bisa sampai kepada kewajiban mengenai tuhan. Iman tidak bias mengenai
ma’rifat atau amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban itu hanya melalui wahyu.
Wahyulah yang menerangkan dan mengatakan pada manusia, bahwa ia berkewajiban
mengetahui tuhan dan manusia harus menerima kebebasan ini. Oleh karena itu,
iman bagi kaum asy’ari ialah tasdiq dan batasan iman ialah-tasdiq bi allah,
yaitu menerima sebagai benar kabar tentang adanya tuhan.
3.
Masalah Kehendak Bebas, perbuatan
manusia dan takdir (qadha dan qadar).
Seperti
yang dikemukakan pada bagian
terdahulu, bahwa masalah besar yang menjadi polemic dan
perbincangan
berkepanjangan
dikalangan para teolog dari berbagai aliran dalam islam, adalah masalah yang
berkaitan dengan perbuatan
manusia. Inti masalahnya adalah apakah
perbuatan
manusia itu terwujud atas keinginan, kehendak dan daya kemempuan
manusia itu sendiri, atau oleh Allah tuhan penguasa
mutlak alam semesta ini.
Muhammad mazru'ah
mengatakan, "jabariyah mendakwahkan bahwa manusia terpaksa
dalam segala sesuatu. Ia tidak punya pilihan
apapun
dari atau dalam perbuatanya.
Semua perbuatan
manusia adalah idthirariyyah (terpaksa).
Manusia tidak punya iradadah (kemauan), tidak pula qudrah
(kemampuan).
Tuhanlah yang menggerakkan dan melakukan perbuatan-perbuatan
manusia tersebut. Dengan begitu manusia tidak bertanggung jawab atas perbuatanya.
Sebaliknya, Qodariyah
berpendapat
bahwa manusia melakukan perbuatan dengan
bebasdan menurut keinginan mereka sepenuhnya.
Tidak ada hubungan antara Allah dengan perbuatan
manusia. Selanjutnya kaum mu'tazilah mengemukakan bahwa manusia sendirilah yang
menciptakan
perbuatanya.
Apabila
tuhan yang menciptakan perbuatan
manusia itu, tentu ia tidak berhak memperoleh
pahala
dan tidak patut menerima akibat dari perbuatan-perbuatanya
itu.
Dalam hal ini
Asy'ariyah memberikan pendapat pemahaman
yang berkaitan dengan perbuatan
manusia, serta pengertian qada
dan qadar. Muhammad abduh berpendapat,
memang ada peranan manusia dalam perbuatanya.
Dalam kitab risalah al-tauhid beliau memaparkan
"seorang yang sehat jasmani dan rohani, menyadari (menyaksikan dan
mengetahui) akan keberadaanya (eksistensinya) tanpa perlu
argumentasi akal, atau seorang guru yang mengajarkanya. Demikian pula
ia menyadari bahwa ia mengerti dan memahami perbuatan-perbuatan
ikhtiariyah yang ia lakukan. Dengan akalnya ia bias memperkirakan
dampak
atau hasil dari perbuatanya itu.
Dan dengan iradah-Nya ia ukur dan tentukan serta dengan qudrah-Nya ia
wujudkan perbuatan tersebut. Mengingkari hal yang demikian sama halnya
mengingkari keberadaan yang sudah nyata-nyata kebenaranya.
Abduh juga
mengemukakan bahwa tidak semua yang diinginkan dan direncanakan oleh manusia
itu terwujud sepenuhnya. Namun,
kegagalan yang dialaminya itu, dijadikanya pelajaran.
Ia yakin itu bukanlah kekurang seriusanya, atau suatu kekalahan dalam perjuangan
hidup,
dan ia tidak menyalahkan siapa-siapa.
Lalu dengan penuh optimis ia terus
berusaha menggapai apa
yang ia inginkan dengan cara yan lebih tepat
dan teliti. Dan ia yakin ada kekuatan yang lebih tinggi dialam ini yang
mengatur dan menentukan kekuatanya sendiri, dan dibelakang rencananya ada
kekuasaan yang jauh diatas kekuasaanya. Dengan kata lain manusia melakukan perbuatan
dengan daya dan kemauanyadan kekuasaan Allah adalah tempat
kembali semua yang terjadi.
Dalam padangan
Muhammad abduh, qadha dan qadhar mempunyai
pengertian
yang berbeda dengan yang umumnya dianut oleh umat islam pada
masa itu. Qadha menurut pendapatnya
berarti kaitan antara ilmu tuhan dengan sesuatu yang diketahui, sedangkan
qadhar ialah terjadinya sesuatu dengan ilmu tuhan. Jadi, ilmu atau pengetahuan
tuhan merupakan inti dari pengertian yang
terkandung dalam qadha dan qadhar. Apa
yang diketahui tuhan pasti akan
sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Mustahil bisa disebut sebagai suatu yang
diketahui, sesuai dengan kenyataan. Dengan demikian, tidak ada satupun
yang pun
terjadi di alam ini yang berada diluar pengetahiuan
tuhan. Semuanya berada dalam jangkauan ilmu-Nya, termasuk apa
yang dipilih
manusia dengan kebebasan yang diberikan tuhan padanya.
Pengertian
qadha dan qadhar seperti demikian,
adalah tidak menunjukkan adanya paksaan
pada
manusia untuk melakukan suatuperbuatan. Tuhan
mengetahui apa yang dilakukan manusia bukan menetapkan
apa
yang harus dilakukan manusia. Manusia melakukan pilihanya
dengan bebas, dan apapun perbuatan
yang dipilih
dan dilakukan manusia, tuhan telah lebih dahulu mengetahuinya. Peran
tersebut tidaklah menjadi penghalang bagi
kebebasan manusia dalam memilih perbuatanya.
Terdapat pernyataan
lain dari golongan Asy'ariyah. pertama, ditegaskan bahwa segala perbuatan
manusia bergantung pada qadha dan
qadhar Allah. lebih-lebih dengan penegasan
bahwa segala perbuatan tuhanlah yang menentukan, sedang manusia hanya dapat
berusaha dan berikhtiyar, namun usaha dan ikhtiyar itu tidak berpengaruh
pada
ketentuan tuhan. Pernyataan kedua,
memperlihatkan
tinjauan tentang perbuatan dari
sisi tuhan dan manusia. Dari sisi tuhan perbuatan
adalah ciptaan-Nya, sedangkan dari sisi manusia merupakan
kasb darinya. Ringkasnya perbuatan
manusia adalah makhluk atau ciptaan tuhan.
Dengan pedoman
ayat QS.Al-shaffat:96 "Allahlah yang telah menjadikan kamu dan segala apa
yang kamu kerjakan". Dari situ dapat
dipahami
bahwa penciptaan
perbuatan
yang dimaksud adalah penciptaan
perbuatan
itu sendiri. Pernyataan
ketiga, perbuatan
ditinjau dari sisi manusia disebut dengan kasb. Pemahaman
tersebut dilandasi dalam Qs. Al-mu'minun:17 "pada
hari ini diberilah balasan bagi setiap
orang atas segala perbuatanya. Tak
ada penganiayaan
hari ini, sesungguhnya Allah sangat cevat perhitunganya".
Penciptaan
itu berdasarkan ketentuan dan kehendak tuhan yang mutlak. Dengan landasan Qs.
Al-Aqsah:67 "tuhanmu menciptakan apa
yang Dia kehendaki dan Dia pilih. Tidak ada
pilihan
bagi mereka. Maha suci allah dari apa
yang mereka perssekutukan".
Dengan penciptaan
tersebut, berarti daya dan kehendak yang terdapat
dalam kasb tidak bersifat efektif, kalaulah daya itu bersifat efektif, tentulah
perbuatan
yang terwujud dengan daya yang ada pada
manusia, bukan dengan pilihan dan
kehendak mutlak tuhan. Dengan tidak efektifnya daya dan kehendak manusia dalam
mewujudkan perbuatan, berarti manusia tidak punya
andil dalam perbuatanya. Daya dan kehendak tuhanlah yang berlaku. Paham
ini diwarnai oleh pendavat K.H.
Mas mansyur yang menegaskan bahwa kehendak manusia adalah kehendak tuhan, dan apapun
yang dilakukan manusia sebenarnya merupakan
refleksi dari dari kehendak tuhan, dan apapun
yang dilakukan manusia sebenarnya merupakan
refleksi dari kehendak tuhan. Pendapat
seperti
inilah yang dirumuskan dalam himpunan
putusan
tarjih yang menyatakan bahwa manusia hanya dapat
beriktiyar dan berusaha, sedangkan tuhan dengan kehendak –Nya menentukan perbuatan
yang diciptakan-Nya.
Bagi kaum asy’ariyah
orang yang berdosa besar tetap mukmin, karena imanya masih ada. Tetapi karena
dosa besar yang dilakukanya ia menjadi fasiq. Dengan demikian pandangan kaum
asy’ariyah bertolak belakang dengan paham mu’tazilah yang beranggapan orang
berdosa besar berada diantara dua posisi. Sekiranya orang yang berdosa besar
bukanlah mukmin dan bukan pulah kafir
4.
Masalah Akal dan Wahyu serta Kriteria Baik dan Buruk.
Teologi sebagai ilmu yang
membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap
tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh
pengetahuan
tentang kedua soal tersebut. Akal sebagai daya berfikir yang ada dalam diri
manusia, berusaha keras untuk sampai
kepada
diri tuhan dan wahyu sebagai pebghabaran dari
alam metafisika turun kepada manusia
dengan keterangan-keterangan tentang tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia
terhadap
tuhan.
Menurut kaum
mu'tazilah bahwa kewajiban mengetahui dan berterimakasih kepada
tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk dapat
diketahui oleh akal. Sudah tentu bahwa sebelum sesuatu hal adalah wajib, orang
harus terlebih dahulu mengetahui hakikat
hal itu sendiri. Tegasnya, sebelum mengetahui kewajiban berterimakasih kepada
tuhan dan berkewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan
jahat, orang harus terlebih dahulu mengetahui tuhan dan mengetahui baik dan
buruk. Sebelum mengetahui hal itu tentu tak dapat
menentukan sikap terhadapnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa jawaban kaum mu'tazilah dapat
diketahui oleh akal.
Dari kaum asy'ariyah
menolak sebagian besar pendapat
kaum mu'tazilah, dalam pendapatnya
kewajiban manusia hanya dapat diketahui
melalui wahyu. Akal tak dapat membuat
sesuatu menjadi wajib dan tak dapat
mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib
bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui
tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui tuhan dan
berterimakasih kepada-Nya. Juga
dengan wahyulah dapat diketahui
bahwa yang patuh kepada tuhan akan
memperoleh
upah
dan yang tidak patuh kepada-Nya
akan mendapat hukuman. Akal tidak dapat
mengetahui kewajiban-kewajiban manusia. Untuk itulah wahyu diperlukan
Bagi kaum Asy'ariyah,
karena akal dapat mengetahui hanya adanya tuhan saja, wahyu mempunyai
kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan buruk dan mengetahui
kewajiban-kewajibanya hanya karena turunya wahyu. Dengan demikian jika
sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan tahu kewajiban-kewajibanya.
Sekiranya syari'at tidak ada, kata Al-Ghazali, manusia tidak akan berkewajiban
mengetahui tuhan dan tidak akan berkewajiban berterima kasih kepada-Nya
atas nikmat-nikmat yang diturunkan kepada
manusia. Demikian juga soal baik dan buruk. Kewajiban berbuat baik dan
kewajiban menjauhi perbuatan buruk,
diketahui dari perintah-perintah
dan larangan-laranga tuhan. Segala larangan dan kewajiban diketahui melalui
wahyu, sekiranya tidak ada wahyu maka tidak ada kewajiban dan larangan bagi
manusia.
Jelas bahwa dalam pendapat
aliran Asy'ariyah bahwa wahyu mempunyai
fungsi yang banyak sekali. Wahyu menentukan segala hal, jika wahyu tidak
adamanusia akan bebas berbuat apa saja yang
dikehendakinya. Dan sebagai akibatnya manusia akan berada dalam kekacauan.
Wahyu perlu
untk mengatur manusia, salah satu fungsi wahyu adalah memberi tuntunan kepada manusia
untuk mengatur hidupnya didunia.
Oleh karena itu pengiriman
rasul-rasul dalam teologi asy'ariyah
seharusnya merupakan suatu
kemestian dan bukan hanya suatu hal yang boleh terjadi (ja'iz) sebagaimana
ditegaskan al-ghozali dan al-syahrastani.
5.
Masalah kemakhlukan Al-Qur’an.
Mengenai sabda tuhan
atau kalam allah (Al-Quran) persoalanya
dalam teologi adalah, kalau sudah merupakan
sifat, sabda mesti kekal. Tetapi sebaliknya
sabda adalah tersusun oleh karena itu
mesti diciptakan dan tidak
bias kekal.
Kaum mu'tazilah
menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa sabda bukanlah sifat tetapi perbuatan
tuhan. Dengan demikian al-quran bukanlah bersifat kekal tetapi
bersifat baharu dan diciptakan tuhan,
argument mereka al-quran tersusun dari bagian-bagian berupa
ayat dan surat, ayat yang satu mendahului yang lain pula.
Adanya pada
sesuatu, sifat terdahulu dan sifat datang kemudian, membuat sesuatu itu tidak
bias bersifat qodim, yaitu tak bermula karena yan tak bermula itu tak didahului
apapun.
Kaum Asy'ariyah berpegang
keras bahwa sabda adalah sifat dan sebagai sifat tuhan mestilah kekal. Sabda
bagi mereka adalah arti atau makna abstrak dan tidak tersusun. Sabda bukanlah
yang tersusun dari huruf dan suara. Sabda yang tersusun disebut sabda dalam
arti kiasan. Sabda yang sebenarnya adalah apa
yang terletak dan tersusundari huruf dan kata-kata bukanlah sabda tuhan. Sabda
dalam arti abstrak inilah yang dapat
bersifat kekal dan dapat menjadi
sifat tuhan. Dan yang dimaksud dengan al-quran bukanlah yang tersusun dari
huruf-huruf , kata-kata dan surat-surat, tetapi
arti atau makna abstrak itu. Dalam arti inilah al-quran menjadi sabda tuhan dan
bersifat kekal. Dalam artian
huruf,kata,ayat dan surat yang ditulis atau dibaca, al-quran bersifat baharu
serta diciptakan.
6.
Masalah Melihat Tuhan.
Logika mengatakan bahwa Tuhan , kerena bersifat immateri, tak dapat
dilihat dengan mata kepala. Dan inilah
pendapat
kaum mu'tazilah sebagai argument, Abd
al-jabbar mengatakan bahwa tuhan tak mengambil tempat
dan dengan demikian tak dapat dilihat,
karena yang dapat dilihat hanyalah yang mengambil tempat
dan juga jika tuhan dapat dilihat
dengan mata kepala Tuhan akan davit dilihat sekarang dalam ala mini juga. Dan tak
ada tak ada orang yang melihat tuhan dialam ini.
Kaum Asy'ariyah sebaliknya, berperdapat
bahwa tuhan akan dapat dilihat oleh
manusia dengan mata kepala diakhirat
nanti. Paham
ini dengan pendapat mereka bahwa
tuhan mempunyai sifat-sifat tajassum atau anthropomorphis,
sungguhpun
sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat jasmani manusia yang ada dalam alam
materi ini. Tuhan berkuasa mutlak dan dan dapat
mengadakan apa saja. Sebaliknya akal manusia lemah dan tak selamanya sanggup
memahami perbuatan dan ciptaan tuhan. Apa
saja sungguhpun itu sangat bertentangan dengan pendapat
akal manuusia, dapat dibuat dan
diciptakan
tuhan. Malihat tuhan yang bersifat immateri dengan mata kepala,
dengan demikian tidaklah mustahil manusia akan dapat
melihat tuhan.
Argumen yang dimajukkan Asy'ariyah untuk memperkuat
pendapat
diatas adalah yang tak dapat dilihat
hanyalah yang tak mempunyai wujud.
Yang mempunyai
wujud hanyalah mesti dapat
dilihat.tuhan berwujud maka dari itu tuhan dapat
dilihat, tuhan melihat apa yang ada dan dengan demikian melihat diri-Nya juga,
kalau tuhan melihat diri-Nya, ia akan dapat
membuat manusia bias melihat tuhan. Al-baghdadi
memajukan argument lain, manusia dapat
melihat accidents (al-a'arad) karena manusia dapat
membedakan antara putih dan hitam
dan antara bersatu dengan bercerai. Maut juga dapat
dilihat, yaitu dengan melihat orang mati. Kalau a'rad dapat
dilihat maka tuhan juga dapat dilihat.
Manusia tidak akan melihat tuhan didunia namun diakhirat.
7.
Masalah
keadilan tuhan
Kaum mu’tazilah, karena percaya pada kekuatan
akal dan kemerdekaan serta kebebasan manusia, mempunyai tendensi untuk meninjau
wujud ini dari sudut rasio dan kepentingan manusia. Berbeda dengan kaum
asy’ariyah, karena percaya kepada mutlaknya kekuasaan tuhan mempunyai tendensi
yang sebaliknya. Mereka menolak
paham mu’tazilah bahwa tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya.
Bagi mereka perbuatan-perbuatan tuhan tidak mempunyai tujuan, tujuan dalam arti
sebab yang mendorong tuhan untuk berbuat sesuatu. Betul bahwa perbuatan-perbuatan tuhan menimbulkan
kebaikan dan keuntungan itu tetapi pengetahuan
maupun kebaikan serta keuntungan-keuntungan itu,tidaklah menjadi
pendorong bagi tuhan untuk berbuat.tuhan berbuat semata-mata karena kekuasaan
dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lain.
Dengan demikian mereka mempunyai tendensi untuk meninjau wujud dari sudut
kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan.
Sesuai dengan tendensi mereka untuk meninjau segala-galanya dari
sudut kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, keadilan mereka artikan “menempatkan
sesuatu pada tempat yang sebenarnya,yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap
harta yang dimiliki serta mempergunakanya sesuai dengan kehendak dan
pengetahuan pemilik”. Dengan demikian keadilan tuhan mengandung arti bahwa
tuhan memiliki kekuasaamutlak terhadap makhliknya dan dapat berbuat sekehendak
hati-Nya dalam kerajaan-Nya. Ketidak adilalan bererti “menempatkan sesuatu
tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang”.
Oleh karena itu, tuhan dalam paham kaum Asy’ariah dapat berbuat apa
saja yang dikehendaki-Nya, meskipun hal itu menurut pandangan manusia adalah
tidak adil. Al-asy’ari sendiri berpendapat bahwa tuhan tidaklah berbuat salah
kalau memasukkan seluruh kedalam surge dan tidaklah bersifat dzholim jika ia
memasukkan seluruh manusia kedalam neraka. Perbuatan salah dan tidak adil
adalah perbuatan yang melanggar hukum dan karena diatas tuhan tidak ada
undang-undang atau hukum, perbuatan tuhan tidak pernah bertentangan dengan
hukum. Dengan demikian tuhan tidak bias dikatakan bersifat tidak adil.
Al-Ghozali mengeluarkan pendapat yang sama, ketidak adilan dapat timbul hanya
jika seorang melanggar hak orang lain dan jika seorang harus berbuat sesuai
dengan perintah dan keudian melanggar perintah itu, perbuatan yang demikian itu
tidak mungkin ada pada tuhan.
Oleh kerna itu\, tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak dapat
berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dengan makhlik-Nya. Al-Asy’ari juga
berpendapat bahwa tuhan dapat menyakiti anak-anak kecil dihari kiamat, dapat
menjatuhkan hukuman bagi orang mukmin dan dapat memasukkan orang kafir kedalam
surge. Sekiranya ini dilakukan tuhan, tidak ada kata salah atas apa yang
dilakukan tuhan, tuhan tetap bersifat adil. Upah yang diberikan tuhan merupakan
rahmat dan hukuman tetap merupakan keadilan tuhan. Tuhan tidak berkewajiban
memberikan pahala. Seperti kata Al-ghazali, tuhan memberikan upah kepada
manusia jika itu dikehendaki-Nya dan akan memberikan hukuman kepada manusia jika
itu dikehendaki-Nya, bahkan menghancurkan manusia jika menagng itu yang
dikehendaki-Nya. Meskipun demikian tuhan tetap bersifat adil.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Asy’ariyah adalah salah satu nama sebuah aliran dimana namanya disandarkan
kepada pendirinya,yaitu Abu Hasan al-Asy’ari.beliau lahir di Bashrah pada tahun
260 H/ 873M. Aliran Asy'ariyah memiliki prinsip dasar/dasar pemikiran, diantaranya adalah:
1. Konsep tentang Tuhan dan Hakikat sifat Tuhan.
Menurut aliran
Asy'ariyah tuhan bukanlah pengetahuan
('Ilm) tetapi yang mengetahui ('Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan
dan pengetahuan-Nya
bukanlah zat-Nya. Demikian pula sifat-sifat
seperti
sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.
2. Konsep tentang keimanan
Bagi kaum asy’ariyah, dengan keyakinan mereka bahwa akal manusia
tidak bisa sampai kepada kewajiban mengenai tuhan. Iman tidak bias mengenai
ma’rifat atau amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban itu hanya melalui wahyu.
iman bagi kaum asy’ari ialah tasdiq dan batasan iman ialah-tasdiq bi allah,
yaitu menerima sebagai benar kabar tentang adanya tuhan.
3. Masalah Kehendak Bebas, perbuatan manusia dan takdir (qadha dan qadar).
Terdapat
pernyataan lain dari golongan Asy'ariyah. pertama, ditegaskan bahwa
segala perbuatan manusia bergantung pada qadha dan qadhar Allah. lebih-lebih
dengan penegasan bahwa segala perbuatan tuhanlah yang menentukan, sedang
manusia hanya dapat berusaha dan berikhtiyar, namun usaha dan ikhtiyar itu
tidak berpengaruh pada ketentuan tuhan. Pernyataan kedua, memperlihatkan
tinjauan tentang perbuatan dari
sisi tuhan dan manusia. Dari sisi tuhan perbuatan
adalah ciptaan-Nya, sedangkan dari sisi manusia merupakan
kasb darinya.
4. Masalah Akal dan Wahyu serta Kriteria Baik dan
Buruk.
pendapat aliran
Asy'ariyah bahwa wahyu mempunyai fungsi
yang banyak sekali. Wahyu menentukan segala hal, jika wahyu tidak adamanusia
akan bebas berbuat apa saja yang
dikehendakinya. Dan sebagai akibatnya manusia akan berada dalam kekacauan.
Wahyu perlu
untk mengatur manusia, salah satu fungsi wahyu adalah memberi tuntunan kepada
manusia untuk mengatur hidupnya didunia.
5. Masalah kemakhlukan Al-Qur’an.
Sabda bagi
mereka adalah arti atau makna abstrak dan tidak tersusun. Sabda bukanlah yang
tersusun dari huruf dan suara. Sabda yang tersusun disebut sabda dalam arti
kiasan. Dalam artian huruf,kata,ayat dan surat yang ditulis atau dibaca,
al-quran bersifat baharu serta diciptakan.
6. Masalah Melihat Tuhan.
Kaum Asy'ariyah
sebaliknya, berperdapat
bahwa tuhan akan dapat dilihat oleh
manusia denganmata kepala diakhirat
nanti. Paham
ini dengan pendapat mereka bahwa
tuhan mempunyai sifat-sifat tajassum atau anthropomorphis,
sungguhpun
sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat jasmani manusia yang ada dalam alam
materi ini.
7. Masalah keadilan tuhan
Sesuai dengan
tendensi mereka untuk meninjau segala-galanya dari sudut kekuasaan dan kehendak
mutlak tuhan, keadilan mereka artikan “menempatkan sesuatu pada tempat yang
sebenarnya,yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta
mempergunakanya sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik”. Dengan
demikian keadilan tuhan mengandung arti bahwa tuhan memiliki kekuasaamutlak
terhadap makhliknya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya dalam kerajaan-Nya. Ketidak adilalan bererti “menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya,
yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang”.
1 komentar:
Hard Rock Hotel Universal Rooms - Free Casino 카지노 카지노 1xbet 1xbet 2718Genesis Impact PC - stillcasino.com
Posting Komentar